Isnada menjelaskan, anak tidak sekolah merupakan kelompok usia sekolah yang tidak mengenyam pendidikan formal karena faktor ekonomi, geografis, minimnya perhatian orang tua, maupun keterbatasan akses. “Data ATS menjadi indikator penting keberhasilan pendidikan, karena menunjukkan seberapa banyak anak yang belum tersentuh oleh sistem,” tambahnya.
Provinsi Sulawesi Tengah disebut menjadi salah satu daerah yang telah menunjukkan komitmen nyata dalam mendukung kebijakan tersebut. Pemerintah daerah memasukkan program Wajib Belajar 13 Tahun ke dalam RPJMD 2025–2029, yang diperkuat dengan dukungan Gubernur melalui kebijakan BERANI Cerdas, program bantuan pembiayaan untuk siswa SMA dan SMK.
Meski demikian, Isnada menilai tantangan di lapangan masih besar. Geografi Sulteng yang luas dan sebagian sulit dijangkau menyebabkan belum meratanya ketersediaan sekolah, terutama PAUD. Faktor lain seperti biaya transportasi, seragam, dan perlengkapan sekolah juga menjadi kendala bagi keluarga kurang mampu.
“Data ATS yang belum diverifikasi juga membuat intervensi kebijakan sering kali tidak tepat sasaran. Di sisi lain, kualitas layanan PAUD dan SD belum merata,” paparnya.
Menutup pemaparannya, Tim Riset Unismuh Palu merekomendasikan sejumlah langkah strategis untuk memperkuat implementasi kebijakan Wajib Belajar 13 Tahun. Di antaranya, penyediaan data ATS yang akurat dan terverifikasi, perluasan akses PAUD terutama di wilayah terpencil, penghapusan biaya tidak langsung bagi siswa, peningkatan kolaborasi dengan pemerintah desa dan pihak swasta, peningkatan kualitas guru serta layanan sekolah, dan pelaksanaan monitoring-evaluasi secara berkala terhadap indikator pendidikan.
“Semua langkah itu perlu mendapat dukungan politik dan administratif agar kebijakan dapat berjalan efektif dan berkelanjutan,” tutup Isnada.*ENG




