SULTENG RAYA – Akademisi Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu, Dr. Moh Rizal Masdul, menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang mengatur syarat pendidikan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Putusan yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan dalam sidang pleno pada Selasa, 17 Juni 2025, di Ruang Sidang MK, Jakarta. Permohonan tersebut diajukan oleh Hanter Oriko Siregar dan Horison Sibarani, yang meminta agar syarat pendidikan minimal bagi capres dan cawapres dinaikkan dari tamat pendidikan menengah (SMA atau sederajat) menjadi minimal sarjana strata satu (S1).

Namun, dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa seluruh permohonan tersebut ditolak.  “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.

Menanggapi putusan itu, Rizal menilai bahwa seharusnya MK mempertimbangkan permohonan tersebut secara lebih bijaksana. Ia berpendapat, jabatan tertinggi dalam sistem pemerintahan seperti presiden dan wakil presiden seharusnya mensyaratkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari sekadar lulusan sekolah menengah.

“Semestinya permohonan itu dikabulkan. Guru taman kanak-kanak (TK) saja saat ini harus berijazah S1, kenapa presiden dan wakil presiden cukup tamatan SMA sederajat,” ujar Rizal, Kamis (9/10/2025).

Ia menilai keputusan MK yang mempertahankan syarat pendidikan minimal SMA untuk calon pemimpin negara justru menunjukkan ketidakseimbangan antara beban tanggung jawab yang besar dengan kualifikasi akademik yang minim.

Rizal menambahkan, para menteri yang membantu presiden dalam menjalankan roda pemerintahan umumnya memiliki latar belakang pendidikan tinggi, bahkan banyak di antaranya bergelar doktor (S3) dan guru besar. Karena itu, kata dia, akan sangat janggal bila presiden sebagai pemimpin tertinggi justru hanya lulusan SMA.

“Para menteri di kabinet saja rata-rata S1, bahkan banyak yang S3 dan guru besar. Sementara presidennya ke depan hanya tamatan SMA tentu sangat timpang,” ungkapnya.

Begitu juga dari aspek logika kepemimpinan dalam konteks intelektual dan kapasitas manajerial. Ia mempertanyakan bagaimana seorang presiden yang hanya berpendidikan menengah dapat memimpin rapat kabinet yang diisi oleh para akademisi dan pakar dengan kualifikasi tinggi.

“Bagaimana orang yang tamatan SMA memimpin sidang kabinet, pesertanya adalah para guru besar dan doktor, minimal sarjana. Syukur-syukur kalau presidennya punya banyak pengalaman di organisasi, kalau tidak, mau dibawa ke mana negara ini,” ujarnya dengan nada prihatin.

Menurut Rizal, pendidikan bukan sekadar formalitas ijazah, melainkan indikator kemampuan berpikir sistematis, memahami kompleksitas kebijakan, serta membuat keputusan yang berbasis pada nalar ilmiah dan wawasan luas.

Ia juga menilai bahwa dengan menaikkan standar pendidikan bagi calon pemimpin nasional, maka kualitas kebijakan publik yang dihasilkan akan lebih rasional dan visioner. “Presiden dan wakil presiden adalah simbol tertinggi kapasitas intelektual bangsa. Sudah semestinya mereka memiliki pendidikan yang sebanding dengan tanggung jawabnya,” tambahnya.

Meski demikian, Rizal mengakui bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun, ia berharap ke depan ada evaluasi lebih lanjut terhadap regulasi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden agar selaras dengan perkembangan zaman dan tuntutan kualitas kepemimpinan nasional.

“Ke depan, negara ini perlu memikirkan kembali standar kompetensi pemimpin nasional, termasuk dari sisi pendidikan. Jangan sampai kita membiarkan ketimpangan logis antara kualitas pemimpin dan kompleksitas persoalan bangsa,” harapnya. ENG