SULTENG RAYA-Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia senantiasa memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini tidak hanya sebatas seremoni tahunan, tetapi memiliki makna mendalam sebagai momentum refleksi terhadap nilai-nilai fundamental yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rektor Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu, Prof. Dr. H. Rajindra, SE., MM., menegaskan bahwa Hari Kesaktian Pancasila adalah ruang penting untuk meneguhkan kembali komitmen bangsa terhadap ideologi Pancasila. Ia menilai, semangat peringatan ini bukan hanya mengenang sejarah kelam bangsa, melainkan juga menjadi panggilan moral untuk menjaga warisan luhur yang telah dirumuskan para pendiri bangsa.

Menurutnya, nilai-nilai Pancasila harus benar-benar tertanam dalam pola pikir, sikap, dan perilaku setiap warga negara Indonesia. Hal ini tidak boleh berhenti pada tataran wacana, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. “Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya perayaan, melainkan momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan sejauh mana nilai Pancasila benar-benar kita jalankan,” ujar Prof. Rajindra, Kamis (2/10/2025).

Ia menjelaskan bahwa sejarah lahirnya peringatan Hari Kesaktian Pancasila berhubungan erat dengan peristiwa kelam G30S/PKI tahun 1965, di mana Pancasila diuji oleh rongrongan ideologi lain. Dari situlah muncul tekad bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai benteng yang kokoh. “Momentum 1 Oktober menjadi pengingat bahwa Pancasila adalah dasar negara yang telah teruji. Karenanya, tugas kita adalah menjaga dan mengamalkannya,” jelasnya.

Prof. Rajindra juga mengingatkan generasi muda agar tidak melupakan sejarah bangsa. Ia mengutip pesan Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, dengan semboyan terkenal Jasmerah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah). Menurutnya, semboyan tersebut sangat relevan untuk terus dipahami oleh anak bangsa. “Generasi muda adalah penerus estafet bangsa. Jika mereka melupakan sejarah, maka rapuhlah pijakan masa depan. Karena itu, ingatan kolektif terhadap sejarah harus terus dijaga,” tambahnya.

Namun, bagi Prof. Rajindra, hal terpenting dari peringatan ini bukan sekadar mengenang, melainkan bagaimana nilai-nilai Pancasila tetap dijaga, diamalkan, dan diwariskan lintas generasi. “Nilai Pancasila adalah benteng kokoh menghadapi berbagai rongrongan, baik yang datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Tantangan kita saat ini memang berbeda, tetapi semangat Pancasila tetap relevan sebagai panduan,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa implementasi Pancasila tidak harus berupa hal-hal besar, melainkan bisa dimulai dari tindakan sederhana. Sebagai contoh, sila pertama dapat diwujudkan dengan kesungguhan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Sila kedua dapat diterapkan dengan menolong teman yang sedang kesusahan. Sila ketiga diwujudkan dengan menjalin persahabatan tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama, atau status sosial.

Lebih lanjut, sila keempat bisa dipraktikkan dengan sikap mau mendengarkan pendapat orang lain ketika berdiskusi. Sementara itu, sila kelima dapat diwujudkan melalui kebiasaan berbagi, menghindari sifat egois, dan menjunjung tinggi keadilan dalam lingkungan sosial. “Hal-hal sederhana ini sebenarnya inti dari Pancasila. Jika dilakukan secara konsisten, maka nilai-nilainya akan hidup dalam keseharian kita,” tutur Prof. Rajindra.

Menurutnya, dalam dunia kampus, pengamalan Pancasila juga bisa diwujudkan dengan membangun budaya akademik yang sehat, menghargai perbedaan pandangan, dan menumbuhkan sikap gotong royong antar mahasiswa maupun dosen. Ia mencontohkan bahwa suasana perkuliahan di Unismuh Palu selalu diarahkan untuk menjadi ruang pembelajaran yang menjunjung tinggi nilai persatuan. “Kampus adalah miniatur bangsa. Jika di kampus Pancasila bisa diamalkan, maka mahasiswa akan membawanya ke tengah masyarakat,” jelasnya.

Prof. Rajindra menambahkan, salah satu tantangan terbesar bangsa saat ini adalah derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi digital. Generasi muda sering terpapar berbagai pengaruh asing, baik positif maupun negatif. “Di sinilah pentingnya Pancasila sebagai filter. Jangan sampai generasi kita kehilangan jati diri karena terlalu larut dalam arus global. Dengan Pancasila, kita bisa tetap terbuka pada dunia, tetapi tidak kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia,” katanya.

Ia juga menyoroti munculnya berbagai ancaman terhadap persatuan bangsa, mulai dari konflik sosial, intoleransi, hingga penyebaran paham radikal di dunia maya. Menurutnya, semua itu bisa ditangkal jika nilai-nilai Pancasila benar-benar dihayati. “Kalau setiap orang mempraktikkan sila kedua dan ketiga, tentu tidak akan ada ruang untuk kebencian maupun diskriminasi. Kita harus kembali pada semangat persaudaraan sejati,” tegasnya.

Rektor Unismuh Palu ini mengingatkan bahwa Pancasila tidak boleh dipandang hanya sebagai dokumen konstitusional, melainkan sebagai pedoman hidup. “Sering kali kita menganggap Pancasila hanya slogan. Padahal, nilai-nilainya harus benar-benar dijalankan. Itulah tugas kita bersama, mulai dari individu, keluarga, masyarakat, hingga institusi negara,” katanya.

Ia optimis, jika Pancasila diamalkan dengan tulus, maka Indonesia akan mampu menghadapi berbagai tantangan, baik sekarang maupun di masa depan. “Pancasila adalah perekat kita. Selama kita setia pada nilai-nilainya, bangsa ini akan tetap tegak berdiri,” ujarnya. ENG