Oleh: Prof. Dr. Ir. Siti Halimah Larekeng, SP, MP

Sebagai akademisi yang meneliti biodiversitas selama puluhan tahun, saya memandang setiap insiden lingkungan bukan hanya sebagai peristiwa teknis, melainkan juga sebagai pengingat betapa rapuh sekaligus berharganya ekosistem yang menopang kehidupan kita.

Kebocoran pipa minyak di kawasan Towuti, Luwu Timur, menjadi salah satu contoh nyata bagaimana aktivitas manusia harus senantiasa ditimbang terhadap keseimbangan alam.

Dalam kasus ini, langkah cepat PT Vale Indonesia bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Natural Heritage & Biodiversity Universitas Hasanuddin adalah hal yang patut diapresiasi.

Tim kami segera diturunkan ke lokasi, membawa mandat bukan hanya untuk mengukur kerusakan, tetapi juga untuk memahami dinamika ekologis secara komprehensif.

Sejak 2019, kami telah melakukan long-term biodiversity monitoring di kawasan hutan Towuti—baik di area alami maupun konsesi tambang. Basis data ini menjadi kunci: memungkinkan kami membandingkan kondisi flora, fauna, dan bahkan mikroorganisme sebelum dan sesudah insiden. Dengan demikian, analisis dampak dapat dilakukan berbasis bukti, bukan sekadar persepsi.

Biodiversitas ibarat denyut nadi bagi ekosistem. Kehadiran spesies pionir yang tumbuh di lahan bekas tambang, hingga keberlangsungan flora endemik Sulawesi, memberi sinyal tentang tingkat resiliensi alam. Namun, setiap kontaminasi—sekecil apapun—berpotensi mengganggu rantai ekologis ini.

Oleh karena itu, survei awal kami akan fokus pada beberapa indikator:

•        Kondisi vegetasi (apakah terjadi stres fisiologis atau penurunan keanekaragaman).

•        Keberadaan fauna kunci seperti burung endemik atau serangga penyerbuk.

•        Kualitas air dan mikroba akuatik, mengingat ekosistem perairan Towuti merupakan penyangga kehidupan masyarakat setempat.

Dari pengalaman sebelumnya, kami melihat bahwa langkah-langkah konservasi yang konsisten—seperti reklamasi lahan dan rehabilitasi hutan—mampu meningkatkan biodiversitas di area yang terdampak aktivitas manusia. Tumbuhnya tanaman endemik di area rehabilitasi Vale adalah salah satu bukti bahwa pemulihan ekologi bukan sekadar wacana, melainkan sesuatu yang bisa diukur.

Insiden di Towuti memang menjadi tantangan, namun juga peluang untuk memperkuat komitmen lintas pihak. Sains, pemerintah, masyarakat, dan industri harus berjalan seiring, memastikan pemulihan yang tidak hanya mengembalikan kondisi, tetapi juga memperkuat ketahanan ekosistem jangka panjang.

Sebagai ilmuwan, saya meyakini bahwa edukasi publik adalah bagian dari solusi. Biodiversitas bukan istilah abstrak; ia adalah fondasi pangan, air bersih, dan udara yang kita hirup. Peristiwa di Towuti harus menjadi pelajaran bersama: bahwa menjaga alam berarti menjaga kehidupan kita sendiri.

Penulis adalah Ketua Puslitbang Natural Heritage & Biodiversity, LPPM Universitas Hasanuddin