SULTENG RAYA – Ketua Umum Gerakan Anti Radikalisme dan Terorisme (GARIS) Indonesia, Dr. Sadri, S.Pdi,MM,M.Pd, sangat prihatin mengenai pemantauan pondok pesantren oleh Densus 88 saat pelaksanaan upacara HUT ke-80 RI di sejumlah pondok pesantren (Ponpes) di Indonesia.

Diketahui, sedikitnya 15 ponpes di berbagai wilayah Indonesia terpantau oleh Densus 88 saat menggelar upacara bendera pada Ahad (17/8/2025).

Dr. Sadri yang juga penulis buku berjudul Terorisme di Indonesia menegaskan, hal ini adalah isu yang kompleks, mempertemukan dua kepentingan yang sama-sama penting yakni keamanan nasional dan perlindungan hak-hak sipil serta nama baik institusi pendidikan keagamaan.

​Dr. Sadri juga mengajak untuk membedah mengapa opini miris ini muncul dan bagaimana perspektif dari sisi lainnya. Yang pertama kata Dr. Sadri, Stigmatisasi dan Generalisasi yang menyakitkan. Hal ini adalah alasan utama. Pemantauan secara khusus seolah-olah menempatkan pondok pesantren sebuah institusi yang berjasa besar dalam sejarah pendidikan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai sarang atau sumber potensi ancaman. “Ini adalah generalisasi yang menyakitkan bagi puluhan ribu pesantren dan jutaan santri yang mengajarkan dan mempraktikkan Islam yang damai dan cinta tanah air (hubbul wathon minal iman),” kata Dr. Sadri yang juga putra daerah asal Buol, Provinsi Sulawesi Tengah itu.

Lanjut Dr. Sadri menyebutkan, ​yang kedua potensi kriminalisasi dan salah tafsir. Ada kekhawatiran bahwa pendekatan keamanan yang kaku dapat salah menafsirkan ajaran atau diskusi keagamaan yang kritis sebagai bentuk radikalisme. Hal ini bisa berujung pada kriminalisasi terhadap kiai atau ustaz yang sebenarnya tidak memiliki niat jahat, menciptakan “chilling effect” atau ketakutan untuk berdakwah secara bebas.

​“Dengan adanya pemantauan oleh Densus itu, tentunya menciptakan iklim ketakutan dan kecurigaan. Bagi para santri, pengurus, dan orang tua, berita bahwa institusi mereka “dipantau” oleh unit anti-teror dapat menciptakan suasana tidak nyaman, penuh kecurigaan, dan ketakutan. Lingkungan belajar yang seharusnya tenang dan damai menjadi terganggu oleh citra sebagai target pengawasan,” sebut mantan Aktivis dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) itu.

​Menurut Dr. Sadri, hal semacam itu dapat mencederai peran historis pesantren. “Ironisnya, pemantauan ini terjadi di sekitar HUT RI. Padahal, sejarah mencatat peran sentral pesantren dalam perjuangan kemerdekaan, salah satunya melalui Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratusyekh KH. Hasyim Asy’ari. Pesantren adalah kawah candradimuka para pejuang. Menempatkannya di bawah pengawasan di hari kemerdekaan terasa seperti sebuah ironi yang menyedihkan dan tidak menghargai sejarah,” jelasnya.

Dr. Sadri yang juga dosen aktif di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta menegaskan, pendekatan dengan cara pemantauan itu dianggap kurang efektif. Banyak pihak berpendapat bahwa pendekatan keamanan (hard approach) seharusnya menjadi pilihan terakhir. Untuk mencegah radikalisme, pendekatan yang lebih humanis dan dialogis (soft approach), seperti bekerja sama dengan pimpinan pesantren, memperkuat pendidikan moderasi beragama, dan dialog dianggap jauh lebih efektif dan tidak menimbulkan luka.