SULTENG RAYA –Dulu, masyarakat Indonesia kerap mengandalkan dokumen tradisional seperti Letter C, Petok D, girik, akta jual beli, atau surat waris sebagai bukti kepemilikan tanah. Namun, perkembangan regulasi membuat semua dokumen tersebut tak lagi menjadi pegangan utama.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat tanah resmi menjadi satu-satunya alat bukti kepemilikan yang sah, kuat, dan diakui oleh hukum.

Menurut praktisi hukum Lm. Arif, SH, pergeseran ini tidak hanya soal administrasi, tetapi juga menyangkut kepastian hukum dan nilai ekonomi.

“Sertifikat tanah memberikan perlindungan hukum yang jauh lebih kuat, sekaligus membuka peluang nilai ekonomis, seperti dapat dijaminkan ke bank,” kata Arif.

Dibandingkan dengan dokumen lama yang hanya berfungsi sebagai bukti permulaan dan mudah dipatahkan di pengadilan, sertifikat memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kokoh.