Oleh : Febri Ghiyah Baitul Ilmi /Pemerhati Sosial

Media diramaikan dengan mencuatnya kasus korupsi alat Electronic Data Capture (EDC) di Bank Rakyat Indonesia yang merugikan negara hingga Rp.2,1 T. Skandal ini menambah panjang daftar kasus korupsi yang menjerat institusi publik dan perbankan milik negara. Ironisnya, sejumlah kasus besar lainnya yang melibatkan pejabat tinggi maupun elite politik justru masih menggantung di ranah hukum, penuh dengan sandiwara dan tarik ulur kepentingan. Keadilan terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sebuah ironi yang terus terulang dalam lanskap hukum Indonesia.

Lebih menyedihkan lagi, semua ini terjadi di tengah narasi pemerintah soal efisiensi anggaran. Demi menekan defisit, berbagai pemangkasan anggaran dilakukan namun yang paling terdampak adalah justru sektor-sektor yang menyentuh langsung kepentingan rakyat. Pemerintah menonaktifkan jutaan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional, memotong tunjangan kinerja guru, memangkas dana bansos, menunda pencairan dana riset dan inovasi, bahkan mengurangi alokasi anggaran untuk pertahanan dan keamanan negara. sektor-sektor strategis yang semestinya diperkuat justru dikorbankan. Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang prioritas kebijakan negara mengapa rakyat harus menanggung beban efisiensi sementara kebocoran anggaran akibat korupsi terus dibiarkan? Bagaimana pemerintah bisa meyakinkan publik untuk hidup hemat dan bersabar sementara uang rakyat terus mengalir ke kantong-kantong segelintir elite yang menyalahgunakan kekuasaan?

Perilaku koruptif yang dipertontonkan penguasa menjadi bukti nyata kegagalan negara dalam membangun tata kelola yang bersih dan berpihak pada kepentingan umum. Dalam situasi seperti ini publik tidak hanya dirugikan secara materiil tetapi juga secara moral. Kepercayaan kepada lembaga negara terkikis. Sikap skeptis terhadap penegakan hukum semakin meluas, maka persoalan korupsi bukan hanya soal kejahatan ekonomi tetapi juga penghancuran sistemik terhadap fondasi keadilan.

Terlihat jelas bahwa negara dengan paradigma sekuler kapitalistik neoliberal ini telah gagal dalam mengurus urusan rakyat dan menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Kasus-kasus korupsi yang terus bermunculan hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa sistem sekuler kapitalistik tidak dapat diandalkan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Alih-alih mengedepankan kepentingan rakyat, sistem politik demokrasi yang dijalankan justru menyuburkan praktik politik transaksional dimana kekuasaan hanya menjadi alat tukar antara para pejabat dan pemilik modal. Amanah kepemimpinan kehilangan maknanya, tergadai demi kepentingan jangka pendek yang sarat kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan.