Tidak ada kue atau menu makanan istimewa yang dihidangkan di meja tamu paling depan yang biasanya ditempati pejabat, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Tidak ada perlakukan khusus kepada tamu undangan,seperti halnya acara pernikahan ataupun seremonial pada umumnya.
Seluruh tamu undangan disambangi sekelompok anak muda yang membawa toples, gelas dan cerek berisi teh atau kopi panas. Mereka dengan ramah mempersilakan tamu mengambil kue dalam toples dan setelah itu memberikan gelas sembari diisi dengan minuman teh atau kopi. Tergantung selera dan permintaan tamu.
Seluruh tamu undangan begitu menikmati kue dan minuman yang diberikan para sliwir. Camat Tomini, sejumlah kepala desa dan tokoh masyarakat terlihat senang dan santai. Apalagi penampilan grup band lokal yang tampil cukup menghibur pengantin dan ratusan tamu yang hadir.
Di balik kemeriahan pesta itu, sesungguhnya banyak makna dan simbol tersirat. Bahwa pesta pernikahan tidaklah selalu identik dengan kemewahan. Bukannya pelit atau kedua keluarga pengantin tidak mampu melayani para tamunya. Selain itu, kita juga belajar bagaimana semua tamu diperlakukan sama meski tanpa mengurangi rasa hormat khususnya para pejabat.
Sliwir sebagai tradisi dalam prosesi pernikahan telah menjadi simbol kesederhanaan masyarakat suku Tialo. Dalam kajian ilmu semiotika, tradisi ini merupakan bentuk simbol non verbal. Simbol yang mengandung nilai-nilai luhur dan payut dilestarikan.**