Penulis : SUPRIATMO LUMUAN

Ketua KPU Kab. Banggai Kepulauan periode 2023-2028

Pembahasan politik baru-baru ini menghangat pasca putusan mahkamah konsitusi Nomor Nomor 135/PUU-XXII/2024. Mahkamah konstitusi dalam putusannya membagi pemilu menjadi dua bagian, yaitu pemilu nasional yang memilih Presiden/wakil Presiden, anggota DPR RI, dan Anggota DPD. Sementara, pemilu Lokal memilih Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/wakil bupati, wakikota/wakil walikota, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten.

Dalam merespon putusan Mahakamah Konsitutsi Publik terbelah, ada yang menolak dengan argumentasi bahwa putusan Mahkamah konstitusi tersebut menabrak Undang-undang dasar 1945 pasal 22 E ayat 1 yang menyebut, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Artinya kalau kemudian pemilihan DPRD di selenggarakan pada tahun 2031 dalam pemilu local, maka bertentangan dengan kehendak undang-undang dasar. Di senayan partai politik merespon secara negative apa yang menjadi putusan mahkamah konsititusi dengan menyebut mahkamah telah melampaui kewenangannya, karena MK hanya menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar tanpa membuat norma baru, karena itu adalah kewenangan pembuat undang-undang.

Dari sisi pemerintah Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, mau tidak mau, pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, merevisi Undang-Undang Pemilu setelah putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal itu. Pasalnya, putusan MK final dan mengikat (Kompas, 2 Juli 2025).

Dari prekspektif putusan, Mahakamah Konsitutsi mempertimbangkan beberapa hal dalam memutuskan membagi pemilu menjadi dua. Pertama,dekatnya jadwal pemilu dan pilkada yang mengakibatkan kejenuhan dari Masyarakat. Kedua, tumpukan beban pekerjaan penyelenggara pemilu dan penyelenggara pemilu menjadi tidak efisien dan tidak efektif karena hanya melaksanakan “tugas inti” penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekitar 2 (dua) tahun. Ketiga, jadwal yang padat membuat partai tidak punya cukup waktu menyiapkan kader-kadernya, Keempat, minimnya waktu masyakat menilai pemerintahan hasil pemilu. Dan Kelima, tenggelamnya issue daerah dalam pemilu.