Di sisi lain pembalajar harus memiliki daya intelektualitas yang mendorong pada proses berpikir kritis dan juga analitis. Seorang pembelajar dengan bekal intelektual mampu menyaring informasi secara objektif, menyusun argumen secara logis, dan mencari solusi atas berbagai permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat. Ia tidak hanya menjadi penerima pengetahuan, tetapi juga aktor yang aktif dalam mengahadapi permasalahan yang ada. Contoh halnya dalam era digital saat ini, dimana banyak berita atau informasi palsu (hoaks) dan mis-informasi, lalu ia melakukan untuk berpikir kritis dalam membedakan yang berita palsu dan juga benar merupakan bagian sederhana dalam berintelektual.

Terpenting juga bahwa seorang pembelajar juga berjiwa humanitas yang merupakan elemen yang menjembatani antara pengetahuan dan kepedulian sosial. Seorang pembelajar yang humanis tidak hanya fokus pada prestasi akademik, tetapi juga memperhatikan kondisi dan kebutuhan manusia di sekitarnya. Ia memiliki empati, menghargai perbedaan, dan bersedia berkontribusi untuk perubahan sosial yang positif. Humanitas menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif dan menanamkan bahwa ilmu bukan sekadar alat meraih status, melainkan sarana untuk melayani dan memberdayakan masyarakat. Contoh hal sederhana yang dapat dilakukan sebagai pembalajar yakni melakukan kerja bakti bersama warga atau bersama komunitas, hal tersebut merupakan bagian juga dalam mengaplikasikan prinsip humanitas.

Maka dari itu menurut penulis ketiga prinsip tersebut sangat penting dimiliki seorang pembalajar karena prinsip tersebut saling melengkapi dan membentuk pribadi pembelajar yang utuh. Religiusitas memberikan arah, intelektualitas menjadi motor pemikiran, dan humanitas menjadi hati yang menuntun tindakan. Tanpa keseimbangan antara ketiganya, proses belajar bisa kehilangan makna dan arah. Dengan bekal prinsip religiusitas, intelektualitas, dan humanitas bukanlah sekadar pelengkap, tetapi fondasi utama bagi pembelajar yang ingin tumbuh menjadi individu yang bermanfaat dan berdaya saing di tengah kompleksitas zaman. Dengan demikian, menjadi pembelajar adalah identitas aktif dan dinamis, bukan status sesaat, melainkan perjalanan seumur hidup yang terus bergerak menuju kedalaman makna dan kebermanfaatan.

Krisis identitas bukan akhir dari segalanya. Ia bisa menjadi pintu awal menuju pemahaman diri yang lebih utuh. Tentang prinsip religiusitas, intelektualitas, dan humanitas yang lebih aktif dan dinamis.

Penulis Warga Palu

Pembelajar lagi Di Jogja