Pestisida memang dirancang untuk membunuh. Dan seperti semua racun, ia tidak hanya berdampak pada targetnya. Residu pestisida bisa tersisa di permukaan maupun jaringan dalam tanaman. Bila masa tunggu tidak diindahkan, buah yang dipanen masih menyimpan zat aktif berbahaya. Proses pencucian biasa belum tentu mampu menghilangkannya. Di sinilah persoalan dan dilemanya. Konsumen sering kali tidak tahu apakah tomat yang mereka beli aman. Bahkan sebagian mengira, semua hasil pertanian sudah melewati uji keamanan. Padahal kenyataannya, sebagian besar hasil panen dari petani melewati itu sebelum dijual. Apalagi jika dibeli langsung dari pasar tradisional. Resiko tidak hanya pada konsumen, tetapi juga pada petani itu sendiri. Mereka terpapar racun saat mencampur, menyemprot, dan bahkan saat menyimpan pestisida. Banyak dari mereka tidak menggunakan alat pelindung yang memadai. Paparan kronis pestisida sudah banyak dikaitkan dengan gangguan pernapasan, saraf, hingga gangguan kesuburan.

Momen Refleksi

Ketika harga tomat mahal, bukan berarti petani sedang berpesta. Mereka sedang berjudi dengan cuaca, berjibaku dengan hama (OPT), dan bertarung dengan waktu. Di tengah semua itu, mereka hanya ingin hasil kerja kerasnya dihargai. Bukan semata karena uang, tapi karena mereka adalah garda depan pangan kita. Jika hari ini mereka menyemprot terlalu banyak racun, bukan karena mereka jahat, tapi karena sistem mendorong mereka ke arah itu. Dan jika kita ingin pertanian yang sehat dan berkelanjutan, kita harus mulai mendengar suara mereka-petani. Karena pertanian bukan soal panen hari ini saja, tapi soal kehidupan esok yang lebih aman, untuk petani, untuk konsumen, dan untuk bumi ini.

Kenaikan harga tomat saat ini seharusnya menjadi momen refleksi, tak melulu menyalahkan petani. Ia adalah sinyal, tentang sistem pertanian kita yang masih rapuh, tentang pasar yang belum adil, dan tentang cara kita memperlakukan para penyedia pangan. Petani saat ini masih bekerja dalam tekanan yang besar, dikejar biaya produksi, dituntut hasil sempurna, tapi minim perlindungan dan pendampingan.

Harga tinggi sesungguhnya bisa memberi ruang untuk bertani lebih sehat, asal sistem mendukung. Bahwa kesejahteraan petani tidak boleh dibayar dengan kerusakan lingkungan atau ancaman kesehatan. Bahwa kita semua punya bagian dalam rantai pangan ini, dan tanggung jawab itu tak bisa hanya diletakkan di punggung petani an sich. Jika kita ingin makanan sehat, kita tak bisa membiarkan petani berjalan sendiri. Lewat harganya yang naik, ia mengirimkan pesan; Kita tak bisa hanya menuntut. Kita harus belajar bersama. Dan dari sebiji buah merah yang tampak sederhana, tersimpan pelajaran kompleks tentang ketahanan pangan, kesehatan, dan keberlanjutan. 

Penulis Guru Besar Pengelolaan Lingkungan Hidup Unisa Palu