Saat ini istilah keberlanjutan (sustainability) menjadi kata kunci dalam wacana pembangunan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Namun, seringkali keberlanjutan hanya berhenti sebagai konsep normatif dalam dokumen dan kebijakan, tanpa menyentuh akar kesadaran manusia. Padahal, esensi keberlanjutan bukan hanya soal strategi, melainkan cara berpikir, merasa, dan hidup, yang menuntut transformasi dari konsep menjadi kesadaran. Ia menuntut perubahan nyata dalam cara kita menjalani hidup sehari-hari. Di tengah krisis iklim, polusi, dan degradasi alam yang kian nyata, keberlanjutan harus menjadi filosofi hidup, bukan sekadar wacana dan konsep an sich.
Konsep keberlanjutan bisa dipelajari, dikuasai, bahkan disampaikan dengan mudah. Tapi kesadaran keberlanjutan tidak bisa dibentuk hanya melalui pengetahuan, melainkan melalui pemahaman yang bersumber dari pengalaman,aksi, kepekaan, dan keterlibatan batin.
Semangat Kolektif
Gaya hidup modern yang serba instan dan konsumtif telah menyumbang besar terhadap kerusakan lingkungan. Dari limbah plastik yang masif, penggunaan energi yang boros, hingga makanan cepat saji yang meninggalkan jejak karbon tinggi, kesemuanya adalah cerminan dari gaya hidup yang tidak berkelanjutan. Karena itu, transformasi menuju gaya hidup ramah lingkungan menjadi keniscayaan.
Diperlukan langkah kecil yang membawa dampak besar. Dan itu hanya bisa hadir bila ada kesadaran, ya kesadaran ekologis. Tanpa kesadaran ekologis, keberlanjutan hanya akan menjadi ilusi. Oleh karena itu, menumbuhkan kesadaran ini adalah tugas bersama, di sekolah-kampus, di rumah, di tempat kerja, dan dalam setiap kebijakan publik yang dibuat. Namun sayangnya, dalam banyak hal, kehidupan urban yang serba cepat telah memutus kedekatan kita dengan alam. Ruang hijau digantikan oleh beton dan aspal, dan anak-anak tumbuh besar tanpa pernah menyentuh tanah atau mengenal sumber makanannya.