Oleh : Yohanis Toding, S.Hut

Morowali Utara, salah satu daerah yang kaya akan potensi alamnya, kini menghadapi dilema serius di sektor pertanian.

Ratusan petani karet, yang selama ini menggantungkan hidupnya pada getah pohon karet, sedang merasakan pukulan telak akibat anjloknya harga komoditas ini. Dari yang semula mencapai Rp11.000 per kilogram, kini harga karet hanya menyentuh angka Rp8.500 per kilogram. Penurunan drastis ini bukan sekadar statistik; namun adalah cerminan dari kesulitan ekonomi yang dialami langsung oleh keluarga-keluarga petani di Morowali Utara.

Di tengah situasi ini, muncul sebuah wacana yang cukup mengkhawatirkan: peralihan komoditas karet ke kelapa sawit. Opini ini bergema bukan tanpa alasan. Dengan harga sawit yang relatif stabil dan permintaan pasar yang tinggi, sawit terlihat menjanjikan sebagai penyelamat ekonomi. Namun, sebelum kita tergesa-gesa merangkul solusi yang tampak instan ini, ada baiknya kita merenungkan implikasi jangka panjang dari keputusan tersebut.

Ancaman di Balik Potensi Sawit

Tidak dapat dipungkiri, kelapa sawit memiliki potensi ekonomi yang besar. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap sisi lain dari komoditas ini. Ekspansi perkebunan kelapa sawit seringkali identik dengan deforestasi besar-besaran, hilangnya keanekaragaman hayati, dan dampak lingkungan yang signifikan. Belum lagi potensi konflik agraria yang kerap muncul akibat perebutan lahan.

Bagi Morowali Utara, peralihan masif ke sawit juga berisiko menghilangkan identitas pertanian yang telah terbangun selama puluhan tahun. Pohon karet bukan hanya sumber pendapatan, melainkan juga bagian dari warisan budaya dan ekosistem lokal. Menggantinya dengan sawit secara keseluruhan berarti mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan sosial demi keuntungan sesaat.

Urgensi Keberpihakan Kebijakan