Salah satu masukan datang dari Ketua AMSI Sulteng, Mohammad Ikbal, yang mengapresiasi struktur visual dan narasi film, namun mengkritisi penggunaan voice over berbasis AI.

“Naskahnya sudah rapi, gambar juga cukup kuat. Tapi kalau narasinya dibacakan AI, rasa filmnya berkurang, akan lebih menyentuh jika disuarakan langsung oleh anggota JUWITA atau bahkan warga Katu sendiri,” ujarnya.

Ia juga menyarankan agar ekspedisi yang ditampilkan dalam film diperluas agar lebih hidup.

Selain itu jurnalis foto BMZ dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu menilai film Kopi Tua Desa Katu memiliki dua fokus yang sama kuat yakni kopi dan Desa Katu.

“Harus diputuskan dari awal karena ini tentang kopi tua atau tentang Desa Katu? Karena pembuka film menentukan arah cerita. Kalau tentang Katu, maka desa harus muncul lebih dulu. Kalau tentang kopi, ya kopi yang ditonjolkan dari awal,”katanya.

Ia juga menyoroti pentingnya riset mendalam agar visual dan cerita lebih terfokus. Menurut Basri Film Kopi Tua Desa Katu patut diapresiasi karena dibuat oleh jurnalis perempuan yang punya konsen pada pemberdayaan desa maupun potensi di daerah.

“Langkah JUWITA ini tak hanya memperkenalkan kekayaan budaya lokal, tapi juga mendorong lahirnya karya dokumenter,” tutup Basri.*/AMR