Dalam teori administrasi negara, mandatory spending yang tidak disertai mandatory funding adalah bentuk disfungsional dari hubungan kewenangan. Sementara dalam praktik ketatanegaraan, ini mencerminkan centralized command dalam bingkai otonomi semu. Bukankah ini bertentangan dengan semangat desentralisasi sebagaimana diamanatkan reformasi?
Lebih lanjut, ketimpangan fiskal kian diperparah oleh ketidakadilan dalam Dana Bagi Hasil (DBH). Daerah-daerah penghasil sumber daya, seperti tambang dan sawit, hanya menerima “remah-remah” dari nilai ekonomi yang dihasilkan dari wilayahnya sendiri. Ini mencederai prinsip keadilan distributif dalam negara hukum modern. Ketika APBN dibingkai dengan narasi efisiensi, justru APBD lah yang dikorbankan. Yang minim penerimaan dipaksa efisien, sementara yang kaya potensi dipaksa pasif.
Dalam konteks hukum tata negara, kondisi ini menciptakan asymmetric accountability daerah diminta bertanggung jawab atas pelaksanaan program nasional, yang menjadi korban adalah daerah yang memiliki ruang fiskal sempit. Maka tak berlebihan jika dikatakan, ini adalah desentralisasi setengah hati, namun dengan beban penuh. Dalam teori konstitusi, ini mendekati praktik pemusatan kekuasaan secara administratif, yang mereduksi makna substantif otonomi.
Jika pelindungan pekerja migran adalah prioritas nasional, maka ia harus diatur melalui regulasi yang jelas dan anggaran yang dialokasikan secara khusus dalam APBN. Pemerintah daerah bukan entitas pelaksana vertikal pusat. Mereka adalah subjek otonom dalam sistem pemerintahan daerah, sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya.