Menurut Asep, di Sulteng kegiatan pertambangan emas, nikel, dan mineral lainnya menjadi konteibutor utama deforestasi, menyebabkan hilangnya sekitar 5.000 hongga 6.000 hektare hutan per tahun.
Asep mengatakan,dampaknya mencakup degradasi lingkungan,pencemaran air, peningkatan suhu lokal, gangguam sosial. Kota Palu sendiri mencatat anomali suhu meningkat sejak tahun 2000, terutama selama periode EL NINO pafa 2015-2016 dan 2019. Data menunjukkan suhu di Kota Palu naik 1,45 ‘C dibandingkan kondisi sebelum 1975.
Asep mengatakan, beberapa solusi disarankan meliputi, transisi menuju ekonomi hijau,termasuk investasi dalam energi terbarukan seperri tenaga surya dan angin,diverssifikasi ekonomi lokal agara masyarakatvtidak hanya bergantung pada sektor pertambangan .
Dia menambahkan, penguatan regulasi lingkungam serta pengawasan ketat daru pemerintah terhadap industri,edukasi publik dan pelibatan komunitas lokal untuk memastikan transparansi dan berkelanjutan,promosi teknologi ramah lingkungan dan praktik pertambangan berkelanjutan.
“Peran aktif media massa dan masyarakat untuk memastikan tranparansi dan akuntabilitas,”imbuhnya. AMR