1. Kurangnya Transparansi Informasi

Transparansi merupakan prinsip dasar dalam komunikasi kebijakan publik. Namun dalam banyak kasus penghapusan kuota impor, pemerintah tidak menyampaikan secara terbuka data dan pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Informasi mengenai volume impor, negara asal, dampak terhadap produsen lokal, hingga alasan pencabutan kuota sering kali disampaikan secara parsial atau tidak disampaikan sama sekali. Akibatnya, muncul kesan bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan pihak tertentu dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara menyeluruh.

2. Minimnya Partisipasi Publik dan Dialog

Partisipasi pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan sangat penting untuk membangun sense of ownership dan legitimasi. Namun dalam praktiknya, kebijakan impor sering disusun secara top-down tanpa melibatkan asosiasi petani, pengusaha lokal, akademisi, atau organisasi konsumen. Ketika proses komunikasi bersifat elitis dan tertutup, resistensi menjadi tak terhindarkan. Komunikasi yang efektif seharusnya membuka ruang dialog, konsultasi publik, dan mendengarkan aspirasi kelompok terdampak.

3. Penyampaian Pesan yang Tidak Strategis

Banyak kebijakan yang sebenarnya memiliki landasan rasional yang kuat, tetapi gagal dipahami publik karena pesan komunikasi yang lemah atau ambigu. Dalam beberapa kasus, pernyataan pejabat pemerintah justru memicu kontroversi karena menggunakan narasi yang tidak empatik terhadap pihak yang dirugikan. Komunikasi kebijakan memerlukan narasi yang disusun dengan pendekatan persuasi, edukasi, dan empati. Penyampaian data harus disertai dengan konteks sosial dan pemahaman terhadap psikologi publik.

4. Lemahnya Komunikasi Krisis