Dalam konteks hari ini Prof. Zainal mengingatkan tantangan yang dihadapi masyarakat dalam menjaga harmoni, seperti maraknya ujaran kebencian di media sosial, menguatnya kelompok eksklusif keagamaan, dan penggunaan politik identitas. Untuk itu, ia menawarkan sejumlah strategi seperti pendekatan budaya, pelibatan generasi muda lintas agama, hingga penguatan konten damai di media sosial.
Ia juga memberikan apresiasi kepada Gubernur Sulawesi Tengah atas program “Sulteng Mengaji” dan “Sulteng Berjamaah” yang dinilainya sebagai upaya konkrit membangun kohesi sosial berbasis spiritualitas.
“Sulteng Mengaji tidak sekadar membaca kitab suci, tapi memahami dan mengamalkan nilai-nilainya. Sementara Sulteng Berjamaah mengajarkan kita tentang pentingnya bersatu dalam tujuan, saling mendukung, dan menjadikan pemimpin sebagai teladan,” katanya.
Prof. Zainal menutup pidatonya dengan pesan tentang pentingnya menjadikan nilai agama sebagai cahaya penuntun, bukan alat pemecah belah. Ia juga membagikan kisah bijak dari Tanah Kaili sebagai penegas bahwa agama sejatinya hadir dalam perilaku, bukan sekadar ritual.
“Jangan lihat agama tetanggamu dari cara ia sembahyang. Lihatlah dari caranya memuliakan tamu, menjaga janji, dan menolong saat kamu susah,” ucapnya.*/YAT