Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan proses demokratis yang memiliki landasan hukum kuat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya, berbagai persoalan hukum sering kali muncul dan berimplikasi pada legitimasi hasil pemilihan.
Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembatalan Pilkada di Kabupaten Parigi Moutong (Parmout) akibat keikutsertaan Amrullah Alhamdaly, yang masa jedanya sebagai mantan narapidana belum berakhir pada saat pencalonan.
Tulisan ini akan membahas secara ilmiah aspek hukum pembatalan Pilkada Parigi Moutong, implikasi putusan MK, serta peluang hukum bagi Amrullah Alhamdaly untuk kembali mencalonkan diri setelah masa jedanya berakhir pada 30 Januari 2025.
Landasan Hukum Pembatalan Pilkada
MK memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu aspek yang sering dipersoalkan dalam sengketa pemilu adalah keabsahan calon yang berpartisipasi dalam pemilihan.
Dalam kasus Parigi Moutong, keikutsertaan Amrullah Alhamdaly dianggap cacat hukum karena belum memenuhi persyaratan masa jeda lima tahun setelah bebas dari pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf h Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020, yang menyebutkan bahwa mantan terpidana dapat mencalonkan diri dalam Pilkada setelah menjalani masa jeda lima tahun sejak dinyatakan bebas.
Putusan MK No. 56/PUU-XVII/2019, yang memperkuat ketentuan bahwa mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri harus memiliki jeda waktu lima tahun setelah bebas sebelum dapat mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Karena pada saat pendaftaran Pilkada 2024 masa jeda Amrullah belum berakhir, maka pencalonannya dianggap tidak sah. Konsekuensinya, seluruh proses dan hasil Pilkada dinyatakan batal dan harus diulang. Namun perhitungan masa jeda tersebut masih menjadi multitafsir dengan putusan MA. Apakah hitungannya adalah setelah keluarnya putusan MA dan atau ketika saat menjalani Hukuman atas dasar Surat Kepala Lapas Parigi Moutong 2 hal ini yang sebenarnya jadi titik persoalannya, serta apakah kekuatan Putusan PTUN itu dianggap putusan yang diragukan? Nah ini permasalahan yang saya anggap tumpang tindih dalam hal kewenangan.
Peradilan yang seharusnya mengadili persoalan Administrasi dan atau Peradilan yang mengurusi Persoalan Administrasi dalam sebuah kasus dan telah ditetapkan dan telah disahkan demi hukum bisa dibatalkan hanya dengan mendengarkan pakta persidangan MK atas pihak terkait dan Para Ahli, Pihak terkait tanpa ada perimbangan dari Pihak yang menjadi Objek permohonan, dan MK tidak terlalu fokus pada aduan TSM yang diadukan Pemohon, dikarenakan tidak hadirnya pihak terkait dan jawaban Pihak Amrullah Almahdally maka sisi lemah ini dijadikan objek menguatkan dalil yang sebenarnya harus melihat juga secara menyeleruh subtansi gugatan pemohon.
Implikasi Putusan MK Terhadap Pilkada Parigi Moutong
Putusan MK yang membatalkan Pilkada Parigi Moutong memiliki beberapa implikasi hukum dan politik, diantaranya Pelaksanaan Pilkada Ulang. MK memutuskan bahwa Pilkada Parigi Moutong harus diulang dalam jangka waktu 60 hari setelah putusan dibacakan. Ini berarti, berdasarkan perhitungan kalender, pemilihan ulang kemungkinan besar akan berlangsung pada April 2025.
Kepastian Hukum Bagi Calon
Dengan batalnya hasil Pilkada sebelumnya, seluruh kandidat yang ingin mencalonkan diri kembali harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum. Dalam hal ini, Amrullah Alhamdaly sudah tidak lagi memiliki hambatan hukum karena masa jedanya telah berakhir pada 30 Januari 2025 dan Hak konstitusi sebagai warga Negara Tidak ada yang dapat membatalkannya, mencalonkan baru lagi dan Ibrahim Hafid Dapat mengajukan lagi Nama pendampingnya kembali sesuai denghan putusan MK.
Dampak Terhadap Stabilitas Politik dan Administrasi Pemerintahan
Pembatalan Pilkada mengakibatkan kekosongan kepemimpinan yang harus diisi sementara oleh penjabat (Pj) Bupati. Hal ini dapat memengaruhi keberlanjutan program daerah dan stabilitas pemerintahan hingga pemimpin baru terpilih.
Peluang Hukum Amrullah Alhamdaly dalam PSU
Dengan telah berakhirnya masa jeda pada 30 Januari 2025, Amrullah memiliki hak konstitusional untuk kembali mencalonkan diri dalam Pilkada ulang yang akan digelar. Hal ini didukung oleh prinsip non-retroaktif dalam hukum, yang berarti bahwa aturan yang berlaku tidak dapat diberlakukan surut untuk menghukum seseorang secara tidak adil dan salah satu hak adalah perlakuan adil dan tidak menghilangkan Hak Konstitusinya ketika itu dilanggar maka akan berhadapan dengan Hukum itu sendiri.
Dari Perspektif Hukum
Peluang Amrullah sangat terbuka sesuai Hak Konstitusi dengan pertimbangan yakni Memenuhi Syarat Pencalonan Setelah 30 Januari 2025, ia telah memenuhi ketentuan masa jeda lima tahun sebagaimana diatur dalam peraturan KPU dan Putusan MK.
Tidak Ada Larangan Hukum Lainnya
Tidak terdapat aturan lain yang melarang mantan narapidana mencalonkan diri setelah memenuhi masa jeda. Sehingga, secara hukum, Amrullah berhak mendaftar kembali.
Legitimasi yang Lebih Kuat
Jika ia mencalonkan diri dalam Pilkada ulang, legalitas pencalonannya tidak dapat lagi dipersoalkan karena telah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kesimpulannya, Putusan MK yang membatalkan Pilkada Parigi Moutong akibat ketidaksahan pencalonan Amrullah Alhamdaly menunjukkan pentingnya kepatuhan terhadap hukum dalam proses demokrasi. Namun, dengan berakhirnya masa jeda pada 30 Januari 2025, Amrullah kini memiliki peluang yang sah untuk kembali mencalonkan diri dalam Pilkada ulang yang dijadwalkan pada April 2025, sebagaimana amar putusan MK sendiri yang dibacakan 24 Februari 2024 dan tertuang dalam Lembaran Negara.
Jadi MK sendiri membuka peluang tersebut dalam pandangan prespektif Hukum, karena yang diskualifikasi adalah Pencalonan beliau pada 2024 maka dengan adanya PSU beliau sebagai Calon baru dengan nama yang sama dengan Status berbeda.
Dari perspektif hukum, tidak ada hambatan bagi Amrullah untuk ditolak ketika Ibrahim Hafid Mengajukan Namanya Kembali, karena ia telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh MK dan KPU. Oleh karena itu, keputusan akhir dalam Pilkada ulang sepenuhnya akan bergantung pada pilihan rakyat Kabupaten Parigi Moutong.
Dengan demikian, kasus ini menjadi preseden penting dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, khususnya terkait regulasi mantan narapidana dalam kontestasi politik. Kedepan, diharapkan setiap proses pemilihan dapat berjalan dengan lebih tertib, transparan, dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku.****
Penulis:
Abdul Majid, Pegiat Demokrasi/Direktur PP LPEGAST Sulawesi Tengah/Anggota LPP LPO PWM Muhammadiyah Sulawesi Tengah.