SULTENG RAYA – Ketua Umum Gerakan Anti Radikalisme dan Terorisme (Garis) Indonesia, Dr. Sadri, S.Pdi.,M.Pd mengapresiasi sikap yang dilakukan oleh Polda Sulteng dengan melakukan upacara HUT Kemerdekaan RI ke-79 bersama eks narapidana teroris (Napiter) di Kabupaten Poso pada Sabtu (17/8/2024).

Dr. Sadri melalui rilisnya yang diterima Sulteng Raya pada Selasa (20/8/2024) menyebutkan, personel Polda Sulteng melalui Satgas Madago Raya telah melakukan upaya pencegahan radikalisme dan terorisme dengan sangat baik, dengan berbagai kegiatan yang telah dilakukan seperti sosialisasi melalui Da’i Polri yang dilakukan ditengah-tengah masyarakat, tempat ibadah, maupun bagi pelajar di sekolah, serta melakukan dengan upaya patroli demi mencegah pergerakan ataupun berkembangnya aksi terorisme.

Selain itu lanjutnya, dalam upaya pemulihan nama para eks napiter beserta keluarganya, pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng harus memberikan perhatian khusus kepada keluarga eks napiter agar mereka mendapatkan perhatian di bidang pendidikan, wirausaha, pemberdayaan masyarakat dan lain-lain.

“Saat ini Garis Indonesia bekerjasama dengan CV Buol Pegogul Jaya Sejaterah (BPJS) yang juga sudah bekerjasama dengan Menkumham RI melakukan pelatihan serta pendidikan pengolahan prodak Sagu sebagai bahan baku olahan makanan lokal, sehingga diharapkan mereka bisa membuka peluang usaha di dalam masa tahanan dan setelah keluar bisa membuka usaha sendiri,” kata putra kelahiran Buol itu yang saat ini berdomisili di Jakarta.

Ketua Umum Garis Indonesia, Dr. Sadri yang baru saja meluncurkan buku dengan judul Terorisme di Indonesia, menulis buku sebagai bentuk perhatian bagaimana menekan angka kriminalitas dan keterpaparan paham-paham menyesatkan dan mengganggu keamanan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Tugas kita bersama adalah bagaimana bisa menjalankan amalan UUD dan Pancasila sebagai panduan setiap warga berbangsa dan bertanah air dan sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa merdeka dalam arti luas, merdeka dalam keamanan, ekonomi sosial, budaya dan lain-lain apalagi kita baru saja merayakan hari kemerdekaan yang ke-79,” jelas Sadri yang juga sebagai pengajar di salah satu perguran tinggi di Jakarta.

TERORISME MERUPAKAN KEJAHATAN LUAR BIASA (EXTRAORDINARY)

Menurut Sadri, terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary) lintas negara, terorganisasi dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, karena terbukti rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan masyarakat yang meluas, menimbulkan kerugian harta benda dan menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik dan hubungan internasional.

Sedangkan, intoleransi adalah awal terbentuknya radikalisme, lalu ekstremisme dan terakhir dalam bentuk terorisme. Artinya, intoleransi adalah akar dari radikalisme dan terorisme.  Terjadinya intoleransi, radikalisme dan terorisme tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal seperti agama, ekonomi atau pendidikan, tetapi ada faktor lain yang berperan atau memicu terjadinya intoleransi dan radikalisme ataupun dalam membentuk seseorang menjadi radikal, yaitu faktor psikologis. Mereka yang mencari jati diri membutuhkan pegangan untuk menyatukan diri, sehingga mereka berusaha mencari tempat di mana mereka bisa berada, kebanyakan mencari organisasi tertentu seperti ISIS atau khilafah lainnya sebagai pendukung dan aktualisasi diri.

Dalam perkembangannya kata Sadri, intoleransi, radikalisme dan terorisme menjadi isu global. Hal ini terjadi karena pengaruh perkembangan geopolitik. Dalam 20 tahun terakhir, tiga organisasi teroris telah dinyatakan dilarang oleh resolusi Dewan Keamanan PBB, yaitu Al-Qaida, Negara Islam (NI) dan Taliban. Berbagai langkah dilakukan pemerintah dari hulu hingga hilir untuk mencegah dan menanggulangi radikalisme dan intoleransi secara komprehensif.  Pemerintah juga telah menyiapkan instrument kebijakan Undang-Undang 5/2018, Peraturan Pemerintah 77/2019, Peraturan Pemerintah 35/2020 dan Peraturan Presiden 7 tentang Rencana Aksi Nasional 2021 tentang pencegahan dan pemberantasan ekstremisme berbasis kekerasan menuju terorisme sebagai bentuk penguatan Criminal Justice Response terhadap isu kontra terorisme.

“Salah satu upaya yang terus dilakukan pemerintah adalah kebijakan deradikalisasi. Upaya deradikalisasi pemerintah tidak cukup hanya menyasar mantan napi teroris, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, upaya deradikalisasi mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan pendidikan. Materi yang diberikan menitikberatkan pembentukan karakter nilai-nilai yang baik dan menguatkan karakter bangsa dari nilai-nilai toleransi. Di samping itu, upaya mencegah dan merespon intoleransi dan radikalisme di Indonesia membutuhkan kerjasama dari semua pihak, kerjasama antarkementerian/lembaga, organisasi masyarakat (Ormas) dan seluruh komponen masyarakat serta keluarga. Selain itu, juga peran Badan Nasional Penggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga terdepan dalam pencegahan terorisme harus mendorong secara masif untuk menangkal terjadinya intoleransi berkembang di masyarakat, dengan mengembangkan pendekatan-pendekatan humanis dan modern,” jelas Dr. Sadri.*/YAT