Penulis: M. Ishom el-Saha / Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

ANGKA perkawinan di mengalami trend penurunan tajam setiap tahunnya, pasca -19. Dari 2021 sampai 2023, angka perkawinan menyusut sebanyak 2 juta atau ada 4 juta penduduk usia kawin tapi tidak menikah. Penurunan angka perkawinan hampir terjadi di semua daerah, terkecuali beberapa daerah seperti Bali yang mencatatkan kenaikan angka perkawinan pasca .

Umumnya daerah-daerah yang populasi penduduknya tergolong padat yakni, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta mengalami penurunan angka perkawinan. Dilansir dalam laporan Statistik Indonesia 2024, penurunan perkawinan di Jawa Barat menyentuh angka 29 ribu, Jawa Tengah menyusut 21 ribu, Jawa Timur menurun 13 ribu, dan DKI Jakarta berkurang hingga 4 ribu. Penurunan angka perkawinan ini merupakan fenomena yang penting dikaji, terlebih di sisi yang lain juga dilaporkan bahwa kasus perceraian di Indonesia meningkat jumlahnya.

Pada 2021 dilaporkan ada 447.743 pasangan bercerai, kemudian 2022 kasusnya naik menjadi 516.344 pasangan bercerai, dan 2023 menurun lagi walau tidak signifikan menjadi 463.654 pasangan bercerai. Jika angka perceraian ini dibandingkan dengan angka perkawinan maka ada 1 kasus perceraian per 4 kasus pencatatan perkawinan.

Perbandingan angka perkawinan dengan angka perceraian di Indonesia pasca Covid-19 itu dapat menjadi lonceng pertanda Indonesia menghadapi darurat keluarga. Pasalnya di tahun tahun sebelumnya (tahun 2010 ke belakang) perbandingan kasus perkawinan dengan perceraian di Indonesia ialah 1:7 sampai dengan 1:10.

Darurat Keluarga

Ada yang menduga penurunan angka perkawinan akibat dinaikkannya batas minimal usia nikah menjadi 19 tahun, bagi laki-laki maupun . Tapi dugaan itu ditolak sebab pasca Covid-19, permohonan dispensi kawin ke Pengadilan juga melonjak drastis.

Begitu pula yang berargumentasi bahwa penurunan angka perkawinan ini karena faktor . Dalam kultur sosiologis masyarakat Indonesia, masalah ekonomi pada saat melangsungkan perkawinan biasanya ditanggung bersama-sama antar keluarga. Bisa jadi telah terjadi perubahan sistem fungsional keluarga di tengah masyarakat Indonesia. Penurunan angka perkawinan di satu sisi dan kenaikan kasus perceraian di sisi yang lain, merupakan sinyal terjadinya perubahan sistem dan fungsi keluarga.

Dalam pandangan masyarakat Indonesia umumnya, tidak ada keluarga tanpa rumah tangga, dan tidak ada rumah tangga tanpa perkawinan. Dengan kata lain perkawinan menjadi pintu gerbang utama untuk mengakses potret keluarga sebagai miniatur masyarakat yang tidak hanya one-way street (jalan satu arah).

Keluarga (family) menggambarkan unit terkecil dalam kehidupan sosial yang terjalin interaksi dan komunikasi secara harmonis, serta hidup sejahtera baik jasmani maupun rohani yang diperoleh secara halal dan legal. Halal dan legal adalah penciri keluarga Indonesia yang terbentuk dari ikatan perkawinan yang sah secara hokum dan agama. Dalam administrasi kependudukan yang diterapkan di Indonesia, hampir mustahil unit keluarga tanpa ada dasar hubungan perkawinan.

Hal ini tentu berbeda dengan kondisi di luar negeri yang membolehkan masyarakatnya membangun keluarga tanpa ikatan perkawinan. Fenomena penurunan angka perkawinan akan berdampak pada ciri keluarga Indonesia ke depannya. Apakah masyarakat Indonesia ingin berkeluarga tanpa proses perkawinan?

Gak Bahaya Tah?!

Kekhawatiran timbulnya generasi keluarga baru Indonesia tanpa ikatan perkawinan merupakan sesuatu yang wajar. Pasalnya, dalam sepuluh tahun terakhir ini juga sedang booming isu seputar child-free dan childless yaitu pasangan yang mendeklarasikan tidak ingin punya anak. Tak mustahil, kalau sudah menyatakan diri hidup tanpa anak maka buat apa melangsungkan perkawinan secara sah?

Keluarga menjadi tidak penting dalam pandangan mereka. Faktor lainnya seperti kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kasus konflik rumah tangga dan perceraian juga memicu orang tidak tertarik melangsungkan perkawinan. Berdasarkan fenomena yang kini terjadi di masyarakat itu diperlukan langkah-langkah konstruktif, yaitu: Pertama, mengampanyekan isu perkawinan secara proporsional. Sejauh ini kebanyakan yang dikampanyekan adalah stop menikah usia muda dengan narasi yang membuat ciut hati orang yang melihat dan membacanya.

Sebaiknya ke depan dirubah menjadi kampanye pendewasaan usia perkawinan yang lebih moderat dan maslahat. Kedua, kebijakan ketahanan keluarga tidak hanya dilakukan BKKBN akan tetapi diintegrasikan dalam semua program lembaga pemerintahan dari pusat sampai daerah, seperti halnya program kesetaraan gender yang menyasar ke semua lembaga pemerintahan.

Ketiga, pemerintah perlu menggandeng organisasi kemasyarakatan, lembaga adat dan sebagainya untuk merevitalisasi lembaga keluarga sebagai ciri khas ketimuran bangsa Indonesia. Kita semua menyadari bahwa perubahan akan terjadi dan tak bisa dihindari. Walaupun begitu, perubahan yang kapan terjadi tetap harus berpangkal pada identitas dan jati diri bangsa Indonesia.***(Sumber: SindoNews.Com)