RAYA – CV. Buol Pogogul Jaya Sejahtera () kini telah mengembangkan produk pangan dari hasil olahan tanaman Sagu di sejumlah wilayah provinsi di Indonesia.

Diketahui, ditengah kehidupan yang modern saat ini, masyarakat masih kurang mengetahui soal Sagu, padahal dari segi kesehatan Sagu sangat banyak manfaatnya.

Utama CV. BPJS, Dr. Sadri melalui rilisnya kepada Sulteng Raya, Kamis (22/2/2024) menjelaskan, kehadiran Sagu saat ini sebagai solusi penyedia pangan ditengah perubahan iklim global, sehingga CV. BPJS yang berkantor di Jakarta hadir sebagai produsen untuk mengolah dan menghasilkan beragam produk makanan dari Sagu dengan legalitas paten Sagu Buol Sulawesi.

Selain itu, pengembangan Sagu sebagai bahan olahan makanan juga akibat mahalnya bahan pokok saat ini, sehingga BPJS pun mengajak kepada masyarakat Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah (Sulteng) yang merupakan daerah penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berada di Kalimantan Timur untuk beralih ke produk makanan olahan dari Sagu.

“Saat ini CV. BPJS sedang mengembangkan Sagu menjadi beras, tepung juga bisa dihasilkan mie soun, dan kemasan mie cepat saji, apalagi CV. BPJS menerima permintaan dari berbagai daerah baik lokal maupun luar negeri. Disamping itu, BPJS telah berkolaborasi dengan masyarakat lokal melalui pengembangan dan di pusat saya dipercaya sebagai pembina 10 ribu UMKM,” kata Dr. Sadri yang juga salah seorang pengajar di Perguruan Tinggi di Jakarta.

Sadri yang juga aktif dalam Gerakan Kemasyarakatan menilai, dengan melonjaknya harga beras saat ini, membuat dirinya memiliki kepedulian untuk terus mengembangkan kebutuhan bahan lokal yaitu Sagu sampai ke produksi beras, mie soun kemasan, popeda, keripik dan rencana mie cepat saji instan dan aneka ragam olahan makanan lainnya. Selain itu, CV. BPJS juga kini telah melakukan produksi ikan asin yang sudah dikemas dari Luwuk Banggai. Hal itu semata dikembangkan demi memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, dan juga tentunya menjadi sumber pendapatan warga dalam meningkatkan pendapatan .

Sadri menyebutkan, untuk cadangan Sagu di sejumlah wilayah provinsi Indonesia termasuk di Sulawesi sangat banyak dan berpotensi. Salah satunya, pasokan Sagu yang sudah jalan sebelum dikembangkan di Kabupaten Buol, terdapat di daerah Papua, Bangka Belitung dan Riau sebagian juga dari Banten. “Fokus saya di Buol karena petaninya sudah dibentuk dan Alhamdulillah Sagu di Sulawesi Tengah ternyata lebih bagus setelah saya leb kemaren hasilnya cukup memuaskan dan perkiraan bisa panen dalam sebulan bisa 70 ton,” kata putra kelahiran Buol itu.

Sadri yang mengaku telah melakukan penelitian soal Sagu bersama tim dari IPB sejak tahun 2010 mengatakan, Indonesia merupakan penghasil Sagu kedua di dunia. Penyediaan pangan bagi suatu bangsa merupakan keharusan, dimana peran negara yang mengelola suatu pemerintahan harus menyediakan kebutuhan pangan masyarakatnya, salah satunya mengolah tanaman hutan Sagu menjadi produk makanan. Dalam kondisi dunia yang tidak baik-baik saja ini masing-masing negara akan berusaha menahan cadangan pangannya demi mencukupi kebutuhan penduduk di masing-masing negara.

“Kondisi saat ini masyarakat Indonesia makanan pokoknya hampir 95 persen sudah mengkonsumsi beras yang berasal dari padi. Keberadaan pangan pokok selain beras sudah hilang akibat dominasi beras yang begitu kuatnya. Sebagai contoh yang nyata masyarakat Papua yang sebelumnya makan Sagu saat ini sudah beralih ke beras karena untuk mendapatkan pati Sagu di Papua lebih sulit dibanding mendapatka beras. Padahal kita ketahui bahwa agroklimat di Papua kurang mendukung untuk tanaman padi karena tanahnya relatif asam, sehingga tanaman padi kurang cocok tumbuh di provinsi paling timur Indonesia tersebut,” sebut Sadri yang digadang-gadang masuk bursa calon Bupati Buol mendatang.

Lanjut Sadri, kondisi riil saat ini di tahun 2024 ini lahan subur untuk menanam padi makin tergerus oleh industri dan pemukiman. Kondisi ini akan semakin sulit untuk menyediakan pangan beras. Tambahan lagi tanaman padi juga sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berlaku secara global. Oleh sebab itu, pada tahun 2024 ini Indonesia akan mengimpor beras sebesar 2 juta ton untuk menghadapi gagal panen akibat perubahan iklim. Volume beras sebesar 2 juta ton ini suatu jumlah yang sangat besar. Perubahan iklim yang merupakan fenomena alam akan sulit diprediksi dan ditangani.

“Oleh sebab itu negeri ini harus mencari bahan pangan penyediaan karbohidrat sebagai solusi bila negeri ini gagal panen. Salah satu potensi penyedia pangan, penyedia karbohidrat adalah Sagu. Tanaman Sagu banyak tumbuh di Nusantara ini dari Sabang sampai Merauke. Namun, saat ini Sagu ini banyak tumbuh di Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat. Di provinsi lain Sagu dapat tumbuh namun arealnya tidak seluas di Papua dan Riau,” ucap Sadri yang kesehariannya berdinas di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI .

MANFAAT TANAMAN SAGU
Bila ditengok kata Sadri, kehadiran tanaman sagu ini sudah lama di Indonesia, bahkan di beberapa daerah areal Sagu dibabat diubah menjadi sawah, sehingga keberadaan tanaman Sagu makin terpinggirkan. Padahal, nenek moyang kita dulu makan pokoknya Sagu dan sebagai bukti di Pulau Jawa yang makanan pokoknya nasi dalam Bahasa Jawa nasi adalah “sego” berasal dari kata Sagu.

Demikian juga di daerah Sunda makanan pokoknya adalah nasi yang disebut “sangu”. Oleh sebab itu, Prof Stanton tahun 1979 sudah menyebutkan, tanaman Sagu adalah tanaman kuno dan sekaligus modern. Tanaman Sagu kuno sudah jelas karena hadir sebelum tanaman padi datang ke Nusantara. Namun, mengapa disebut tanaman modern. Inilah penjelasannya yang telah dirangkum oleh Hariyanto 2024 yaitu tanaman Sagu merupakan penghasil pati terbesar dibanding tanaman lainnya per ha per tahun, tanaman Sagu merupakan tanaman yang dapat menyerap CO2 terberbesar dibanding tanaman lain.

Untuk mengusahakan Sagu sampai saat ini tidak membutuhkan pupuk dari luar dan Sagu dapat tumbuh dengan baik di daerah marginal dimana tanaman lain kurang dapat hidup dengan baik. Tanaman sagu tidak perlu perawatan khusus dan sekali tanam akan panen seumur hidup karena anakannya akan menggantikan induknya untuk menghasilkan pati yang dimanfaatkan oleh manusia.

Selanjutnya, pati Sagu merupakan produk asli Indonesia dan bersifat organic, tanaman Sagu tahan terhadap kekeringan atau banjir sehingga merupakan tanaman yang akan tahan terhadap perubahan iklim yang ekstrim, pati Sagu sudah dapat dibuat menjadi mie dan beras analog yang potensi sebagai penyedia pangan alternatif beras. Selain itu, pati Sagu juga memiliki indek glikemik rendah sehingga baik untuk menu makanan bagi penderita diabetes dan prediabetes, dan pati Sagu memiliki kadar pati tidak tercerna tinggi sehingga membuat kenyang lebih lama dan cocok untuk menghambat obesitas serta pati Sagu relatif miskin protein dan lemak sehingga akan tahan lama untuk disimpan.

“Berdasarkan gambaran di atas itulah, tanaman Sagu memiliki banyak keunggulan dan masih banyak misteri yang belum terungkap terhadap kandungan yang terdapat dalam pati Sagu maupun bagian lainnya. Misalnya ada beberapa hipotesa yang menyebutkan mereka yang mengkonsumsi Sagu maka akan muncul hormon kebahagiaan dan membuat kita lebih tenang dan bahagia. Bahkan di beberapa sentra Sagu yang masyarakatnya mengkonsumsi Sagu usia harapan hidupnya lebih lama dibanding mereka yang tidak mengkonsumsi sagu,” jelasnya.

Menurutnya, hal ini suatu karunia yang luar biasa dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sagu merupakan suatu anugerah yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat kita dan bahkan kadang malah dibabat untuk diganti tanaman lain yang lebih menjanjikan. Ini akibat terbatasnya manfaat Sagu yang begitu luar biasa, namun belum diketahui manfaatnya.

“Pada intinya beras Sagu dapat menjadi alternatif sebagai pendamping beras sebagai makanan pokok dan mampu menurunkan beberapa parameter antropometri seperti berat badan, indek masa tubuh dan persentase lemak visceral. Mengonsumsi beras Sagu secara teratur selama satu bulan dapat memberikan efek kesehatan terutama untuk penurunan
berat badan,” ucap Sadri.*/YAT