SULTENG RAYA- Rektor Universitas Tadulako (Untad), Prof. Dr. Ir. Amar, ST., MT menjawab sorotan yang dialamatkan ke dirinya setelah kembali membentuk Dewan Guru Besar di kampus itu, pasalnya dewan tersebut tidak masuk dalam Organisasi dan Tata Kerja (OTK).
Prof Amar menyebut, Dewan Guru Besar itu hanyalah baguyuban, tempat para guru besar di kampus itu berkumpul dan mengespresikan diri sebagai seorang pemikir, dan pemikiran-pemikiran mereka sangat dibutuhkan baik di internal kampus maupun pemerintah daerah.
“Semua perguruan tinggi yang memiliki guru besar, membentuk yang namanya Dewan Guru Besar dan itu hanyalah paguyuban yang tidak mendapatkan pembiayaan karena tidak masuk dalam OTK, sehingga sah-sah saja kami bentuk,”sebut Prof Amar, Rabu (12/7/2023).
Perlu dipahami kata Prof Amar, Dewan Guru Besar kali ini berbeda dengan sebelumnya, karena sebelumnya Ketua Dewan Guru Besar mendapatkan remonerasi sekalipun itu tidak masuk dalam OTK. “Kali ini tidak, sama sekali tidak ada yang namanya remonerasi bagi Ketua Dewan Guru Besar,”jelasnya.
Penganggaranpun katanya jika mereka memiliki kegiatan hanya dilekatkan pada lembaga terkait, seperti misalnya penelitian berarti di lekatkan ke LPPM, terkait pendidikan atau akademik berarti dilekatkan di Warek Bidak. “Artinya sebagai paguyuban, mereka ini tidak mendapatkan fasilitas, jikapun difasilitasi hanya kantor buat tempat mereka berpikir, saat ini berkantor di sebelah gedung rektorat, toh pemikiran mereka itu sangat dibutuhkan baik di internal kampus maupun pemerintah daerah,”tambah Prof Amar.
Kementara Ketua Kelompok Peduli Kampus (KPK) Untad, Prof. Dr. Djayani Nurdin, M.Si, yang dikenal selama ini begitu getol menyuarakan kritikan atas keberadaan dewan tersebut, mengatakan perbedaan sikap kritis KPK di zaman Prof Mahfudz dan di saat kepemimpinan Prof Amar, hal itu bisa terjadi dikarenakan pada zaman Prof Mahfudz Ketua Dewan Guru Besar yang diketuai oleh Prof. Dra. Ir. Merry Napitupulu, M.Sc., Ph.D selain mendapatkan fasilitas juga mendapatkan remonerasi sebesar Rp67 juta persemester.
Sementara Ketua Dewan Guru Besar di zaman Prof Amar yang diketuai oleh Prof. Faturrahman, selain tidak mendapatkan fasilitas juga sama sekali tidak mendapatkan remonerasi, karena memang Dewan Guru Besar tidak masuk dalam OTK.
“Bukan KPK tidak konsisten dalam hal mengkritisi beredaaan Dewan Guru Besar, karena Dewan Guru Besar ini memang penting keberadaannya, semua kampus yang memiliki guru besar memiliki dewan itu, namun yang menjadi titik masalahnya adalah saat sebelumnya itu ada remonerasi yang diberikan kepada ketua Dewan Guru Besar, sekalipun itu tidak ada dalam OTK, inilah yang kami kritisi,”jelas Prof Djayani.
Katanya, remonerasi sebesar Rp67 juta persemester yang diterima oleh Prof Mery jika itu dikali salama satu tahun (dikali dua) artinya mendapatkan remonerasi sebesar Rp 134 juta.
Jika itu dikonfersi ke dalam penerimaan UKT kelas 1, maka mahasiswa bisa mendapatkan supsidi Rp500 ribu perorang.“Bisa dibayangkan ada 200 orang mahasiswa yang bisa kita berikan supsidi UKT, namun itu hanya bisa dinikmati oleh seorang Prof Mery saja,”sebutnya.
Perlu juga katanya diketahui, bahwa dua Ketua Dewan Guru Besar sebelumnya (Sebelum Prof Mery), tidak perna menerima remonerasi, namun ketika Prof Merry Napitupulu menjadi Ketua Dewan Guru Besar, tiba-tiba mendapatkan remonerasi sebesar Rp67 juta persemester.
Selain itu pengangkatan pimpinan Ketua Dewan Guru Besar sebelumnya juga berdasarkan pemilihan, namun disaat Prof Mery itu hanya berdasarkan penunjukan. “Itulah mengapa begitu kritisnya KPK atas keberadaan Dewan Guru Besar di zaman Prof Mahfudz, karena memang ada sejumlah masalah di dalamnya, berbeda saat ini karena memang berdasarkan jalur yang sebenarnya, jadi sudah benar ini,”sebutnya lagi. ENG