SULTENG RAYA — Kondisi ekonomi Indonesia dinilai memiliki resiliensi yang tinggi sehingga target pertumbuhan yang ditetapkan pemerintah tahun ini optimistis tercapai. Kendati demikian, tahun politik menjadi tantangan yang perlu diwaspadai karena kondisi dunia usaha cenderung wait and see.
Hal tersebut diungkapkan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Teguh Dartanto dalam keterangan tertulis yang diterima Sulteng Raya, Senin (19/6/2023).
Menurut Teguh, beberapa tahun terakhir tantangan ekonomi begitu besar. Seperti krisis akibat pandemi Covid-19 hingga ancaman resesi global. Namun dia menilai ekonomi Indonesia relatif resilien.
“Artinya dampaknya ada, tapi nggak begitu besar dan masih bisa termitigasi dengan baik. Dalam konteks itu menurut saya tahun ini juga kondisinya hampir sama. Indonesia saya yakin relatif resilien terhadap berbagai guncangan. Karena memang kita kebijakan prudensialnya cukup bagus terkait dengan kebijakan makro,” ujarnya.
Sementara itu, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,5 persen sampai 5,3 persen tahun ini. Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2023 sebesar 5,03 persen. Capaian itu sedikit lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,01 persen.
Teguh menyebut kisaran angka 5 persen adalah target moderat yang optimistis tercapai, karena tingkat resiliensi perekonomian domestik tersebut. Di sisi lain, Teguh menekankan yang mungkin perlu diwaspadai adalah tantangan dari dalam negeri menjelang tahun politik 2024.
“Tahun politik itu semuanya berdasarkan pola dari penelitian-penelitian kami di FEB UI, menjelang pergantian kepemimpinan seperti ini memberikan nuansa ketidakpastian, terutama di dunia bisnis,” kata Teguh.
Pelaku bisnis dinilai cenderung wait and see atas kebijakan apa yang akan ditempuh pemerintahan berikutnya. Hal ini akan sedikit menahan laju perputaran uang karena pelaku usaha belum berani melakukan ekspansi besar-besaran. Apabila jumlah uang beredar mengalami perlambatan, tentunya ekonomi menurun.
“Inilah yang perlu diantisipasi dan dimitigasi oleh pemerintah. Kita berharap semua partai politik atau apapun, jangan banyak kegaduhan di dalam politik ini sehingga dunia usaha ini bisa sedikit mengurangi ketidakpastiannya,” lanjutnya.
Oleh karena itu, menurut Teguh, salah satu langkah mitigasi risiko yang dapat ditempuh pemerintah adalah memperkuat bantuan sosial sebagai bantalan ekonomi. Tentunya dengan cakupan yang diperluas dengan pendataan yang lebih baik.
Harapannya, kelompok masyarakat rentan terdampak gejolak ekonomi bisa dengan cepat mendapatkan support dari pemerintah melalui berbagai bantuan sosial. Dalam hal ini, kolaborasi pendataan antara Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Sosial perlu dijalin lebih kuat.
“Dalam konteks teori itu namanya Adaptive Social Protection. Artinya ketika ada perubahan, orang ini bisa dimasukkan mendapat bantuan yang cepat dan adaptif sehingga perlu tadi kolaborasi Kemenaker, Kemenperin, juga Kemensos. Ini menurut saya yang perlu, sehingga sinkron,” katanya.
Jika langkah social protection berupa bantuan sosial tidak adaptif, kelompok masyarakat rawan terdampak akan masuk dalam jurang kemiskinan. Selain itu, ketimpangan ekonomi akan meningkat sehingga mendorong kerentanan sosial di masa depan.
PACU SEKTOR STRATEGIS
Selain itu, dalam memitigasi risiko pemerintah pun tetap dapat memanfaatkan peluang ekonomi di tengah tahun politik, yakni dengan memacu sektor-sektor potensial. Teguh mencontohkan, seperti industri tekstil. Industri tersebut dinilainya mengalami penurunan permintaan dari luar negeri karena dampak resesi global.
Namun peluang besar ada di dalam negeri karena momentum pemilu. Pemilu bisa menjadi booster karena permintaan kaos dan atribut kampanye sangat masif pada periode tersebut. Penelitian pihaknya menunjukkan bahwa pemilu memiliki dampak ekonomi yang cukup signifikan terutama di industri tekstil.
Kemudian adalah sektor perhotelan, restoran dan transportasi akan cukup banyak mendapatkan limpahan rezeki dari kampanye.
“Tiga sektor itu menurut saya akan menjadi engine di tahun 2023 dan 2024. Karena 2023 persiapan, 2024 ini panjang pemilunya, itu uang beredar banyak sekali,” pungkasnya.
Tidak kalah penting, Teguh menilai sektor pendidikan juga perlu ditingkatkan. Ia memaparkan, Indonesia memerlukan quality education for all atau kesempatan merata bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengenyam pendidikan berkualitas.
Pasalnya, peningkatan kualitas pendidikan berdampak positif pada terciptanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Pada jangka panjang, kualitas SDM yang semakin maju pun akan menggenjot laju pertumbuhan ekonomi secara signifikan dan berkelanjutan. RHT