Oleh: Muhd Nur SANGADJI
(Akademisi Universitas Tadulako)
Makanan itu mendatangkan gizi. Tanpa makanan, tidak akan ada gizi. Namun, makanan juga sumber masalah. Banyak penyakit datang dari jenis makanan dan cara kita mengkonsumsinya. Dokter selalu menasehati tidak boleh makan ini. Tidak boleh makan itu, dan seterusnya. Terutama saat kita telah divonis mengidap penyakit tertentu.
Nabi sudah mengingatkan. Makanlah kamu, tapi jangan berlebihan. Makanlah pada saat lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Lebih jauh disampaikan bahwa makanan kita itu ternyata tidak cuma harus bergizi tapi juga baik atau halal. Halal dalam jenisnya, maupun halal dalam cara memperolehnya.
Puasa memaksakan kita untuk menerapkan kedua-duanya. Kita disuruh menyeleksi makanan yang bergizi dan halal sekaligus. Dia akan membentuk identitas kita. Adalah Brillat Saferin, pakar gizi berkebangsaan Perancis yang hidup di abad ke 17, pernah bilang begini. “Dit mois, quest Que vous mangez ? Et, je vous dit qui est vous..? (Tell me what you eat, and I Will tell, who you are) (Bilang kepada ku apa yang kamu makan dan aku akan bilang siapa kamu sebenarnya).
Nah, betul khan.. ? Apa yang kamu makan menentukan siapa kamu sebenarnya. Sampai saat ini, Saya masih terus makan popeda dari sagu. Maka, orang akan menerka, saya kelahiran Maluku. Sebab, Itu makanan khas, asli (native food) negeri Moluska. Sampai sekarang pun, setiap menginap di hotel, saya pasti makan roti terutama “croissant dan pen ou chocolat”. Orang boleh menyangka kalau saya pernah tinggal di Eropa atau lebih pasnya, Prancis. Karena, dua roti terakhir ini adalah jenis aslinya negeri Napoleon itu.
Makananmu adalah Identitas mu. Ada kawan yang sangat doyan makan tanpa pantangan. Saya agak ngeri melihatnya. Saat ini harus menjalani operasi kesehatan bertalian dengan jenis hidangan yang disantapnya selama ini. Artinya, makananmu, juga menentukan status kesehatanmu.
Beberapa waktu berselang sebelum masuk ramadan, Saya sempat makan bersama Habib Ali. Beliau adalah Ketua Umum PB Alkhairaat dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Tengah. Saya bertanya. Bib, masih makan daging merah..? Bib bilang, masih, yang penting tidak berlebihan. Beliau mengajarkan kaidah makan minum yang seimbang.
Ternyata, selain identitas dalam makna natural dan geonologis. Makanan dan cara memperolehnya, juga menunjukkan identitas perilaku. Rakus, tamak dan sejenisnya adalah diksi terkait yang disematkan ke makanan dan harta benda. Karena ingin makan enak, mewah dan berlebihan membuat orang lupa pada etika memperolehnya. Tidak perduli, jalannya halal atau haram. Tindakan tidak terpuji seperti korupsi, juga diawali dari sini.
Bangsa ini sedang terseok-seok, berjuang keras untuk melawan ketamakan. Godaan hidup mewah alias hedon. Godaan makan enak berlebihan alias rakus (nadoko). Godaan memburu harta berlebihan alias tamak. Semuanya sedang menjadi tantangan hidup anak negeri. Kita gagal karena sering melanggarnya.
Dan, simbol pelanggaran pertama oleh moyang kita, Adam dan Hawa pun bermula dari makanan (baca; buah khuldi). Jadi, makanan adalah kenikmatan sekaligus cobaan dalam bentuk larangan. Karena itu, kita disuruh berpuasa. Tujuan akhirnya, untuk mencapai identitas yang hakiki, yaitu “Muttaqin atau Ta’wah). Wallahu a’lam bi syawab.***