SULTENG RAYA – Sidang lanjutan kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Mantan Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Bunta, Dean Granovic (DG) dilaksanakan di Pengadilan Negeri Palu, Selasa (10/1/2022).
Pada sidang yang kelima kalinya ini, majelis hakim yang diketuai Chairil Anwar itu mengagendakan pemeriksaan saksi a de charge dan saksi ahli dari pihak Tim Penasehat Hukum Granovic.
Jabar Anurantha D Jaafara,SH.,MH. , M. Akbar,SH, Yuyun,SH selaku penasehat hukum Dean Granovic, mengatakan pihaknya menghadirkan saksi Ahli Hukum Pidana, Dr. Zubair, SH,.MH dalam persidangan tersebut.
“Kenapa kami menghadirkan ahli dalam perkara ini, karena terkait dengan dakwaan tentunya, serta menjadi pendapat Ahli Pembanding, yang dimana Ahli yang dihadirkan JPU tidak menjawab pertanyaan penasehat hukum terkait dakwaan yang didakwakan kepada Dean Granovic,” ujar Jabar.
Seperti diketahui, Dean didakwa melakukan tiga perkara yakni pemerasan, gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Didalam dakwaan pertama, ada terdakwa ini didakwa dengan pasal 12e (UU Tipikor) yaitu tindak pidana pemerasan terhadap Agen Kapal (PT AMS). Dari Fakta Persidangan pada saat dari Pihak PT AMS memberikan keterangan, bahwa pemberian uang itu atas dasar kekhawatiran. Pihak PT AMS mengaku tidak pernah ada unsur meminta, mengancam, dan memaksa,” jelas Jabar
Jabar juga mengatakan, sebagaimana dikutip dari pernyataan ahli, menurut Prof Soesilo, yang dimaksud dengan pemerasan adalah adanya daya upaya, secara aktif dan proaktif sehingga orang lain menunduk dan takut pada dirinya. Biasanya disertai dengan gerakan fisik dan psikis.
“Dalam persidangan, ahli berpendapat bahwa unsur-unsur dalam hukum pidana dari pemerasan itu ada 2, yaitu unsur orang dan unsur perbuatan untuk merubah suatu kebijakan yang melekat pada dirinya. Serta dalam kategori pemerasan itu, harus ada pembuktiannya yang dimana seseorang itu merasa terancam. Dalam hal dakwaan pasal 12e harus memenuhi unsur tersebut, karena apabila unsur tersebut tidak terpenuhi, maka pasal 12e tidak bisa diterapkan dalam dakwaan kasus ini,” ujar Jabar .
“Jadi kekeliruan jaksa mendakwa terdakwa dengan pasal 12e,” jelasnya menambahkan.
Sementara itu, dakwaan kedua tentang gratifikasi/suap terkait pasal 5 dan 11 UU Tipikor, dijelaskan oleh ahli bahwa subjeknya itu harus ada dua orang yaitu penerima dan pemberi, tidak bisa salah satu saja yang dihukum. Perbedaan penyuapan dan gratifikasi, yaitu dalam penyuapan suatu pemberian harus ada perbuatan awal yang berupa kesepakatan. Dimana perbuatan itu, bertentangan atau melanggar hukum, sedangkan gratifikasi tidak harus ada perbuatan awal seperti pemberian hadiah dan pinjam meminjam. Akan tetapi dalam suatu pinjam meminjam bisa dikatakan gratifikasi apabila pinjam meminjam itu tidak ada bunganya. Apabila itu ada bunganya tidak bisa dikatakan gratifikasi. Bahwa adanya pemberian seseorang kepada pegawai yang dibungkus dengan pinjam meminjam adalah gratifikasi.
Menurut Jabar, kasus pinjam meminjam yang dilakukan oleh Dean tidak bisa dikategorikan sebagai gratifikasi. Karena, kata dia, pinjaman yang dilakukan Dean kepada Soehartono menerapkan sistem bunga. Hal itu merupakan pinjam meminjam biasa, seperti layaknya pinjaman di perbankan maupun lembaga lainnya.
Dari Fakta persidangan pada tanggal 27 Desember 2022, dimana saksi Soehartono memberikan keterangan. Uang yang Soehartono berikan kepada Dean atas dasar pinjam meminjam yang disertai bunga dan jaminan sertifikat rumah, yang dimana mereka tidak ada kaitan dengan hubungan kerja.
“Maka dari itu, mengutip pendapat ahli, bahwa keterangan ahli dan penjelasan pasal 5 memang termasuk gratifikasi, akan tetapi tidak semua pinjaman itu masuk gratifikasi. Pinjaman tanpa bunga adalah gratifikasi, tetapi pinjaman dengan bunga dan jaminan tidak bisa dikatakan sebagai gratifikasi. Terdakwa Dean ini meminjam uang kepada Soehartono ada bunganya,” jelas Jabar.
“Jadi dakwaan yang diterapkan oleh jaksa tidak memenuhi unsur pasal 5 dan 11 UU Tipikor tersebut di atur dalam undang-undang No 20 tahun 2021,” ujar Jabar yang didampingi penasehat hukum lainnya M. Akbar dan Yuyun Afdil.
Sementara itu, Pengacara muda Afdil Fitri Yadi, SH menjelaskan, untuk aset-aset yang telah disita kejaksaan terkait dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) diantaranya satu unit mobil milik mobil Dean.
“Ahli berpendapat dalam persidangan ini. Bahwa dalam kategori Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dimana unsurnya itu menyamarkan atau menyembunyikan hasil dari tindak pidana tersebut. Dalam peraturannya bahwa penyitaan tentang TPPU itu penyidik bisa menyita semua aset yang dia punya, baik itu hasil dari kejahatan atau bukan dari hasil kejahatan. Akan tetapi, di dalam TPPU itu ada yang namanya pembuktian terbalik tentang perolehan aset itu, yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2021 dalam pasal 38B terkait perolehan,” ujar Afdil
“Saksi a de charge, M. Janur menerangkan bahwa dia yang mengurus proses pembelian mobil Dean di Kalimantan. Dimana, dalam persidangan diungkapkan bahwa mobil tersebut dibeli saat Dean masih bertugas di Pelabuhan Pantoloan sebagai staff . Dan baru menjadi Kepala Syahbandar di Bunta Tahun 2020. Pembelian 1 unit mobil Daihatsu Terios warna putih pada tahun 2012, balik nama Tahun 2013. Artinya BKPB yang disita oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah tidak ada kaitannya dengan kasus ini,” ujar Afdil.
Afdil mengatakan, terbukti dakwaan JPU tidak tepat, karena fakta persidangan dengan saksi-saksi yang dihadirkan JPU semua menyatakan tidak ada pemerasan dan penyuapan, apalagi dakwaan ketiga berupa TPPU sangat jauh ranahnya.
Afdil mengatakan, sidang lanjutan akan dilakukan kembali di pengadilan negeri kelas 1 Selasa, 17 Januari 2022 dengan agenda saksi dari Penasehat Hukum Dean Granovic. WAN