“Industri ini potensial untuk kesejahteraan masyarakat, lahan yang digunakan untuk sawit itu, kebanyakan hutan yang sudah rusak,” celetuk Ketua Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) Sulawesi, Muchtar Tanong saat didapuk membawakan materi pada Workshop Wartawan yang diinisiasi oleh GAPKI Sulawesi dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulteng, di Palu Golde Hotel, Jumat (20/10/2023).
RAHMAT KURNIAWAN / SULTENG RAYA.COM
Terlepas berseliwerannya konflik agraria yang menghantam perusahaan-perusahaan sawit dengan masyarakat, termasuk di Sulteng. Nyatanya, industri ini, juga menyerap tenaga kerja tidak sedikit, pula dengan berkontribusi terhadap upaya pengentasan kemiskinan ekstrem yang selama ini digaungkan Pemerintah.
Dan benar saja, persepsi ‘liar’ di jagat maya hingga masyarakat awam; bahwa lahan sawit digunakan berasal dari membabat habis hutan alias praktik deforestasi, mentah oleh data dan fakta yang dibeberkan Muchtar Tanong pada penjabarannya yang memakan waktu nyaris 40 menit di mimbar tersebut.
Ia membeberkan, sumber lahan kebun sawit yang berada di Indonesia, hanya tiga persen yang menyentuh kawasan hutan lindung. Sisanya tentunya adalah lahan yang diperbolehkan sesuai dengan regulasi, seperti 12,60 persen dari kawasan hutan tanaman industri, 14,40 persen kawasan pertanian, 26,55 persen kawasan hutan rusak, dan 43,45 persen lahan terlantar.
“Semua tergantung persepsi kita, mau kita samakan atau tidak. Semisal pada gambar yang kami jabarkan ada yang mengatakan ‘13’, ada yang mengatakan ‘B’, kita perlu menselaraskan itu dulu. Industri ini potensial, kita sudah lihat asas kebermanfaatannya untuk merangkul tenaga kerja, dan bermanfaat untuk masyarakat lingkar satu kawasan perusahaan,” ungkapnya dihadapan 50-an wartawan yang hadir menjadi peserta pada kesempatan itu.
Ia mengatakan, pada regulasi perundang-undangan juga telah lugas diterangkan lewat UU Perkebunan no 39/2014, pasal 4 tentang fungsi perkebunan, bahwa keberadaan perkebunan, tak terkecuali industri sawit, setidaknya harus memiliki tiga fungsi yakni ekonomi (primary function), ekologi (green function, blue function), sosial budaya (yellow function, white function).
Pada indikator fungsi ekonomi; jelas dan tegas bahwa industri kelapa sawit harus memegang teguh prinsip peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Pada indikator fungsi ekologis; perusahaan sawit harus mengedepankan prinsip konservasi tanah dan air, serta penyerapan karbon. Serta pada indikator sosial budaya; yakni perekat dan pemersatu bangsa.
“Dan selama ini, kami meyakini, perusahaan-perusahaan sawit, khususnya di GAPKI terus melakukan dan mengupayakan yang terbaik dengan melibatkan masyarakat untuk menjadi bagian dari pertumbuhan dan keberlangsungan sektor industri ini,” katanya.
Muchtar juga menerangkan, setiap perusahaan yang melakukan operasional haruslah menjadikan asas tanggungjawab sosial sebagai salah satu orientasi yang tak terpisahkan dari fundamental perusahaan sawit, dimana masyarakat, utamanya lingkar satu perusahaan, menjadi yang paling utama disentuh.
Orientasianya adalah, semata untuk peningkatan kesejahteraan dan keberpihakan. Namun tak sampai disitu. Kata dia, ada juga unsur pembinaan seperti membentuk wadah komunikasi antar kelompok (WKAK) sehingga aspirasi, komunikasi antar pekerja dengan korporasi dapat berjalan dengan baik.
“Begitupun dengan pola-pola kemitraan, harus memberdayakan masyarakat dan kemitraan lokal demi pertumbuhan bersama dengan prinsip dasar saling memerlukan, saling menguntungkan, saling mempercayai, dan saling memperkuat. Industri sawit harus memiliki kaidah ini,” tukas Muchtar.
Dengan demikian, eksistensi GAPKI Sulawesi di Sulteng menjadi vital perannya. Sebab, ini merupakan wadah yang mengorganisir setiap pelaku usaha sawit agar taat terhadap regulasi, taat terhadap tanggungjawab perusahaan kepada masyarakat, dan sadar akan perannya tentang sustainability.
“Saat ini, regulasi terbaru dari industri kelapa sawit menekankan pada sistem informasi perijinan perkebunan yang terpusat. Khusus untuk anggota GAPKI di Sulteng, keseluruhannya sudah menyelesaikan pengisian regulasi tersebut. Ini langkah awal yang baik untuk fundamental untuk industri kelapa sawit yang berkelanjutan,” ucap Ketua GAPKI Sulawesi, Doni Yoga Perdana. ***