SULTENG RAYA – Kanwil Ditjen Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Sulawesi Tengah, Bank Indonesia (BI) KPw Sulteng, dan Universitas Tadulako (Untad) bersinergi menyelenggarakan kegiatan Desiminasi Kajian Fiskal Regional (KFR) Sulteng dan Laporan Perekonomian Provinsi (LPP) Sulteng bertajuk ‘Optimisme kinerja fiskal dan moneter untuk pertumbuhan ekonomi Sulteng yang berkualitas’ di Auditorium Fakultas Kesehatan Untad, Selasa (27/6/2023).
Giat tersebut dihadiri oleh ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas di Untad. Pantauan Sulteng Raya, pada sesi tanya jawab, mahasiswa aktif memberikan perhatian kondisi belanja negara dan realisasi penerimaan negara di Sulteng.
Dalam sambutannya, Kepala Kanwil DJPb Sulteng, Yuni Wibawa, mengatakan, saat ini, Pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi nasional ada pada angka 5 persen hingga 5,3 persen. Sulteng, kata dia, diharapkan memberikan sumbangsih optimal.
Pertumbuhan ekonomi tersebut, salah satunya dipengaruhi oleh efisiensi pelaksanaan kebijakan fiskal pada konteks APBN. APBN diupayakan terus diakselerasi dari program prioritas agar menyentuh langsung ke masyarakat.
“Kondisi belanja negara di Sulteng per 31 Mei 2023 mencapai Rp9,12 triliun atau 33,5 persen dari pagu. Idealnya di semester I adalah 50 persen, namun akan terus di akselerasi,” papar Kakanwil Yuni Wibawa.
Sementara, untuk pendapatan negara di Sulteng per 31 Mei 2023 tumbuh 19,7 persen dengan realisasi penerimaan pajak Rp2,9 triliun dari target Rp6,3 triliun.
“Sektor industri pengolahan mendominasi realisasi penerimaan pajak di Sulteng dengan sumbangsih 40,9 persen. Dominasi sektor industri pengolahan ini sudah sejak 2019, artinya kebijakan hilirisasi pertambangan yang digalakkan Presiden berjalan dengan baik,” katanya.
Sementara itu, Kepala KPw BI Sulteng, Dwiyanto Cahyo Sumirat, menjelaskan, sinergi dan inovasi kebijakan ekonomi perlu diperkuat, khususnya efisiensi pemberian subsidi, sinergi antara sektor fiskal dan moneter diupayakan berpadu sehingga penyaluran bantuan-bantuan lintas sektor masyarakat lebih merata.
“Subsidi-subsidi ini lebih dipertajam dan diupayakan tepat sasaran agar sektor-sektor usaha merasakan dampaknya untuk kemudian berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang merata lintas sektor,” katanya.
Ekonomi Sulteng, kata dia, tumbuh cukup tinggi yakni 13,18 persen. Angka ini cukup tinggi di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) dimana industri pengolahan menjadi aktor utama yang berkontribusi.
“Pertambangan ini cukup berpengaruh, sehingga ketika ada perlambatan, akan sangat berdampak pada kondisi ekonomi daerah,” katanya.
Untuk itu, ia kembali menekankan perlunya ada pemerataan pertumbuhan lintas sektor seperti pertanian, konstruksi, dan sektor lainnya agar dapat mengimbangi industri pengolahan.
Akademisi sekaligus Ekonom Untad, Moh. Ahlis Djirimu, mengatakan, beberapa permasalah ekonomi perlu dicarikan solusi. Diantaranya, indikator kemandirian fiskal yakni pendapatan asli Daerah (PAD). Sulteng sendiri, kata dia, PAD-nya masih terhitung rendah.
Selanjutnya, kualitas belanja perlu diperhitungkan karena hampir semua daerah di Indonesia disubsidi oleh pendapatan dari pulau Jawa. Penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah yang saat ini masih tertati-tati. Perlu diperbaiki.
“Infrastruktur penunjang perlu dioptimalkan untuk menyelaraskan misi pemerintah pusat dan daerah. Kalau pusat sudah digitalisasi, daerah juga harus. Sulteng kedepan menargetkan PAD Rp3,8 triliun. Untuk mencapai itu, kita harus aktif memberikan saran-saran kepada pemerintah,” ungkapnya.
Rektor Untad, Prof. Amar mengatakan, giat kajian itu diharapkan memberikan dampak terhadap pengetahuan mahasiswa terhadap kondisi perekonomian daerah.
“Ini akan jadi pengayaan pengetahuan, yang narasumbernya sudah kompeten, akan memberikan pencerahan pengetahuan sehingga membentuk pola mikir mahasiswa soal fiskal dan moneter daerah,” tutup Rektor. RHT