Menurut Laporan United Nations Development Programme (UNDP) berdasarkan data Human Development Report tahun 1908, Indonesia menempati peringkat ke-14 untuk penghasil emisi karbon dunia, dibawah Negara-negara maju yang membuang karbon ke atmosfer melalui aktivitas industrinya.

Apabila jumlah emisi di suatu negara dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk, maka Indonesia bukan termasuk Negara penghasil emisi yang besar. Namun demikian tidaklah berarti Indonesia hanya akan berdiam diri menghadapi ancaman perubahan iklim. Melalui kerangka kesepakatan global kita diharapkan dapat membuat perencanaan dan strategi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim secara lebih rasional dan proporsional dalam koridor pembangunan nasional berkelanjutan.

Deforestasi dan degradasi hutan merupakan penyumbang emisi karbon kedua terbesar setelah sektor energi yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Emisi Gas Rumah Kaca (E-GRK) yang terjadi disektor kehutanan Indonesia sebagian besar bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, permukiman, pertambangan dan prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan) yang diakibatkan kegiatan illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah dan perambahan. Mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan merupakan solusi untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi gas rumah kaca telah disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada tanggal 25 Sepetember 2009 dalam pertemuan G20 di Pittsburg, Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia sedang menyusun rangkaian kebijakan yang dapat menurunkan emisi Indonesia sebesar 26% dari scenario “Business as usual” (BAU) pada tahun 2020, bahkan sampai sebesar 41% dengan dukungan dana internasional. Kebijakan tersebut akan terdiri dari peningkatan investasi dalam energi terbarukan dan menurunkan emisi dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan (land use).

Selain itu Indonesia sedang mengkaji kemungkinan menurunkan 1 miliar ton CO2 pada tahun 2050 dan mengubah status hutan Indonesia dari penyumbang emisi menjadi penyerap emisi bersih pada tahun 2030. Salah satu prestasi Indonesia yang menunjukkan keseriusan pemerintah sebagai bentuk komitmen nasional dalam menyikapi kesepakatan internasional tentang perubahan iklim adalah penurunan laju deforestasi selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Angka deforestasi Indonesia periode tahun 2006-2009 sebesar 0,83 juta ha/tahun dan pada kurun waktu tahun 2009-2011 menurun menjadi 0,45 juta ha/tahun.

Secara umum, pembangunan berkelanjutan memiliki tiga dimensi yaitu dimensi ekonomi, sosial. Secara spesifik, persyaratan pertanian berkelanjutan dalam sistem usahatani adalah: produktivitas tanaman dan hewan, kelayakan sosial ekonomi dan pemeliharaan sumberdaya alam dalam jangka panjang. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan harus dapat mengupayakan pencapaian tujuan ekonomi (efisiensi) dalam bentuk peningkatan pendapatan, tujuan sosial (distributif) dalam bentuk pemerataan dan memperkecil kesenjangan dan tujuan lingkungan dalam bentuk peningkatan daya dukung lingkungan. Keberlanjutan dimaknai sebagai upaya perbaikan kesejahteraan generasi sekarang tanpa merusak lingkungan agar tetap mendukung kesejahteraan generasi yang akan datang.  

Sejarah Perubahan Pola Pemanfaatan Lahan Hutan

Berdasarkan informasi sejarah lisan dan penelusuran dokumentasi masyarakat lokal telah melakukan pemanfaatan lahan hutan sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional. Pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat adat Kaili dilakukan seperlunya untuk kebutuhan dasar bukan untuk akumulasi lahan serta kepentingan yang ekstraktif dan eksploitatif. Masyarakat lokal membuka ladang secara komunal dan bekerja kolektif dalam praktik subsistensi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan (kearifan lokal).

Dalam kepercayaan masyarakat adat membuka lahan untuk perladangan tidak dapat dilakukan pada sembarang lahan. Pada proses pembukaan ladang baru, mereka harus melakukan rangkaian persiapan dan survei sebelum menentukan lokasi. Apabila dalam proses yang dilakukan secara adat tersebut ditemukan beberapa tanaman pohon dan juga hewan maka hutan yang menjadi calon lokasi ladang tidak akan jadi dibuka. Menurut kepercayaan mereka, ladang tersebut tidak akan memberikan hasil dan akan menyebabkan malapetaka bagi keluarga mereka.

Setiap tahap produksi memiliki ritual adat dan dilakukan dengan musyawarah yang dipimpin oleh Pemimpin Adat dan Juru Tani. Mereka membuka lahan kemudian meninggalkan tanpa mempermasalahkan siapa yang akan mengolah  selanjutnya. Seiring berjalannya waktu  pembukaan lahan sudah dilakukan sendiri-sendiri dengan ritual yang tetap dilakukan oleh masing-masing keluarga. Hal itu terjadi karena beberapa masyarakat sudah mengenal teknik pengolahan lahan secara individu atau berbasis keluarga.

Pengaruh Pola Tanam Agroforestry terhadap Adaptasi Ekologi Petani

Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi: a) kondisi iklim mikro (radiasi, suhu, curah hujan, kelembaban, kecepatan angin dan penguapan) serta kesuburan tanah , b) pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian (kakao), dan c) pertumbuhan dan produksi tanaman pohon (kemiri).

Pemanfaatan lahan melalui pola tanam agroforestry kakao dengan kemiri akan memberikan manfaat-manfaat lingkungan baik secara umum maupun manfaat yang khas untuk suatu tapak lahan tertentu. Manfaat ekologi secara umum menurut Abubakar M. Lahjie (2004) meliputi:

•          Pengurangan tekanan terhadap hutan.

•          Daur ulang unsur hara yang lebih efisien pada lahan oleh pohon-pohon yang mempunyai perakaran dalam.

•          Perlindungan yang lebih baik bagi sistem ekologi.

•          Pengurangan aliran permukaan, pencucian unsur hara dan erosi tanah melalui efek rintangan yang dihasilkan oleh akar-akar dan batang pohon.

•          Perbaikan iklim mikro, seperti penurunan suhu permukaan tanah dan pengurangan penguapan kelembaban tanah melalui pemulsaan dan penaungan oleh pohon.

•          Peningkatan unsur hara tanah melalui penambahandan dekomposisi jatuhan serasah.

•          Perbaikan struktur tanah melalui penambahan bahan organic secara tetap dari serasah yang terdekomposisi.

Tanaman kakao sebagai tanaman utama dalam usahatani dengan pola tanam agroforestry adalah tanaman yang menginginkan lingkungan alami hutan tropis yang didalam pertumbuhannya membutuhkan naungan untuk mengurangi pencahayaan penuh. Dengan demikian curah hujan, suhu, dan sinar matahari merupakan faktor iklim yang sangat menentukan selain faktor fisik dan kimia tanah yang erat kaitannya dengan daya tembus (penetrasi) dan kemampuan akar menyerap hara. Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim dapat dikelola melalui pemangkasan, pemilihan dan penataan tanaman pelindung dan irigasi.

Pengaruh Pola Tanam Agroforestry terhadap Adaptasi Ekonomi Petani.

Pemanfaatan lahan melalui pola tanam agroforestry minimal memiliki dua tujuan utama yaitu tujuan produksi dan keuntungan (ekonomi) maupun tujuan konservasi (ekologi). Tinggal mana yang lebih dominan, apakah economical approach atau ecological approach.  Petani responden dalam penelitian ini masih mengutamakan economical approach karena jenis-jenis yang ditanam adalah yang bernilai jual tinggi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fidi Mahendra (2009), bahwa terdapat empat hal yang mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan pemanfaatan lahan dengan pola tanam agroforestry, yaitu : a) kentungan (profitability), b) kelayakan (feasibility), c) dapat tidaknya diterima (acceptibility), dan d) kesinambungan (sustainability). ***