Oleh: Muhd Nur SANGADJI
(Akademisi Universitas Tadulako)
Apriori, tidak ada satu bentuk pelatihan pendidikan (education training) sedahsyat puasa ramadan. Pesertanya hampir separuh dari penduduk bumi. Dilaksanakan serempak pada waktu bersamaan. Kurikulumnya sederhana sekali. Patokan literasinya ada di Qur’an dan Hadits. Tidak pakai instruktur atau pembawa materi yang terikat. Setiap diri menjadi peserta sekaligus narasumber.
Karena itu, bisa kita sebut pelatihan diri sendiri (self training). Patokannya sangat simpel. Tahan lapar dan dahaga semenjak sebelum fajar hingga terbenam matahari. Dan, menahan diri dari hal-hal lain yang membatalkan puasa. Tapi, target capaian kinerjanya adalah lahir manusia baru yang diberi predikat “Takwa”.
Nampaknya sederhana, namun sesungguhnya sangat berat. Berat karena tidak ada yang mengontrol dan tidak ada bisa mendeteksi keabsahan kecuali diri sendiri dan Allah SWT. Karena itu, maka tidak semua manusia diwajibkan. Bukan juga kepada semua umat Islam. Tapi, terkhusus kepada umat Islam yang beriman. Inilah syarat utama bagi peserta training ini.
Jadi, bila kita lihat ada orang yang tidak berpuasa. Maka gampang sekali untuk bilang bahwa dia bukan termasuk orang yang dipanggil ikut training ini.
Inilah pula bentuk pelatihan yang pesertanya sudah tahu siapa mereka sesungguhnya. Yaitu, orang-orang yang beriman. Mereka orang-orang yang beriman ini akan tergodok atau digodok oleh ramadan mubarak untuk menjadi manusia Takwa.
Manusia beriman itu secara sederhana dirumuskan sebagai orang yang percaya kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitabnya, Rasulul-rasulnya, hari akhirat dan takdir Allah. Sedangkan, Takwa adalah mereka yang beriman kepada Allah dan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Di sinilah titik konvergensi antara manusia beriman dan manusia Takwa bertemu. Pertemuan itu membentuk perilaku. Yaitu, perilaku orang beriman dan bertakwa. Pertanyaannya, adakah orang beriman tapi tidak bertakwa ? Menurut saya, ada. Bila tidak, mengapa ayat panggilan puasa yang ditujukan pada orang beriman itu. Disudahi dengan harapan, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa ?
Maka hemat saya, iman saja, belumlah cukup karena baru sampai di level percaya. Orang boleh percaya tapi tidak otomatis menjalankan anjurannya. Rekan saya di Universite Jean Moulin, Lyon Prancis pernah berkata jujur. Dia bilang begini ; “je suis …..(menyebut nama agama tertentu)..mais san practican” (Saya beragama ….tapi tidak mempraktekkan ajaran agama tersebut).
Lebih parah lagi, saya temukan tulisan iseng di aspal pakai pilox ; “le Dieau n’existe pas, et vous le saviez bien” (Tuhan itu tidak ada, dan anda harus mengetahui itu). Jelas, yang terakhir ini benar-benar tidak percaya Tuhan alias atheis).
Namun, dalam diam saya sering merenung. Mengapa orang yang tidak percaya Tuhan ini, perilaku kesehariannya terkadang lebih bagus ? Sampai-sampai Syeik Muhammad Abduh asal Mesir pernah menulis saat pindah ke kota Paris pada tahun 1884.
Dia menulis yang singkatnya kira-kira ; “Islam wa la Muslim. Muslim wa la Islam” (Ajaran islam terpraktekan tapi tidak ada orang Islamnya. Sebaliknya, ada orang Islam, tapi Ajaran Islam tidak hadir). Naskah lengkap pernyataan Muhammad Abduh bisa dilihat pada sambungan tulisan ini.
Atas hal ini, saya merenung, bukankah seharusnya orang percaya dan mempraktekkan ajarannya lebih baik Budi pekertinya ? Karena selain bermaslahat di dunia. Di akhirat akan mendapatkan ganjaran kebaikan yang berlimpah..? Dalam renungan itu saya berfikir ulang, mungkin ada yang salah dalam cara kita mengajarkan agama kepada anak-anak kita. Wallahu a’lam bi syawab. ***