SULTENG RAYA – Kasus dugaan pemerasaan yang didakwakan kepada mantan Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Bunta, Dean Granovic (DG) memasuki babak akhir.
Setelah menghadirkan sejumlah saksi dan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun pihak Dean Granovic, Pengadilan Negeri Palu kembali menggelar persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan terdakwa Dean Granovic pada Selasa (24/1/2023).
Dalam keterangannya, Dean Granovic yang didakwa dengan kasus pemerasan, gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) membantah semua tuduhan JPU.
Dean mengatakan, dirinya menerima uang dari PT AMS itu tidak pernah meminta dan memeras, tetapi atas dasar inisiatif kekhawatiran PT AMS sendiri.
“Sementara uang yang saya terima dari Soehartono atau sering disebut Ko Heri senilai Rp 400 juta, itu benar. Tetapi uang tersebut pinjaman saya kepada Soehartono, yang dimana pinjaman tersebut ada perjanjian dengan jaminan sertifikat tanah dan bangunannya, serta bunga 12 persen pertahunnya yang diambil secara bertahap dari total pinjaman Rp 500 juta. Uang tersebut digunakan untuk kebutuhan anak saya masuk Akademi Kepolisian (Akpol) dan kebutuhan pribadi serta keuarga. Tidak ada kaitannya dengan perizinan SPB,“ ucap Dean di hadapan majelis hakim.
Dean Granovic juga menjelaskan, terkait aset-aset yang disita oleh JPU, itu diperoleh sebelum dirinya menjadi kepala KUPP atau Syahbandar di Bunta. Semua aset-aset itu diperoleh di bawah tahun 2020, sementara Dean Granovic menjadi Syahbandar tahun 2020.
Usai persidangan, Dean Granovic yang didampingi Penasehat Hukumnya, Afdil Fitri Yadi memberikan keterangan kepada sejumlah wartawan. Pada kesempatan itu, Dean Granovic menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah meminta ataupun melakukan tindakan ancaman kepada mitra kerjanya selama menjabat sebagai Syahbandar di Bunta.
“Berdasarkan keterangan ahli pembanding, selama seseorang tidak pernah meminta, maka tidak bisa dikategorikan pemerasan,”jelas Penasehat Hukum Dean Granovic, Afdil Fitri Yadi.
Kemudian untuk dakwaan gratifikasi karena adanya transfer dana dari Soehartono senilai Rp400 juta, Afdil Fitri Yadi menjelaskan bahwa hal itu merupakan transaksi pinjam meminjam biasa.
Dean Granovic meminjam dana kepada Soehartono karena adanya sejumlah keperluan pribadi.
Proses pinjam meminjam itu, diteken Dean dan Soehartono dengan mencantumkan klausul bunga, jaminan dan jangka waktu pelunasan. Olehnya, PH Afdil Fitri Yadi menilai bahwa hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai gratifikasi.
Sementara untuk dakwaan TPPU, Afdil mengatakan hal itu juga tidak bisa dibuktikan oleh JPU, karena semua aset yang disita, diperoleh Dean sebelum menjabat Syahbandar di Bunta.
Afdil menjelaskan, dengan melihat fakta persidangan maupun keterangan saksi, semua dakwaan kepada kliennya Dean Granovic belum terpenuhi unsur-unsurnya.
Afdil juga mengatakan, sejauh ini kliennya bingung dengan kasus yang menimpanya. Karena sampai saat ini, pelapor tidak muncul di persidangan, kasus ini diangkat hanya berdasarkan laporan masyarakat (LADUMAS).
“Saya berharap Majelis Hakim dapat memutus perkara ini atas dasar fakta persidangan dan seadil-adilnya,”jelasnya.
Persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Chairil Anwar, SH dan didampingi Hakim Anggota Haris Kahohon, SH, dan Alam Nur, SH, M.Kn, rencananya akan dilanjutkan pekan depan, Selasa (31/1/2023) dengan agenda pembacaan tuntutan kepada terdakwa Dean Granovic. WAN