Oleh: Titin M. S. Salumpu
Enam tahun sudah implementasi penggunaan kartu kredit pemerintah (KKP) sebagai salah satu pembayaran belanja APBN sejak tahun 2019. Berdasarkan data Ditjen Perbendaharaan realisasi penggunaan KKP sampai dengan Triwulan 2025 sebesar Rp 651.773.780.223,00 atau baru 77,88% dari target.
Pemakaian KKP dalam belanja pemerintah masih belum optimal walaupun KKP sudah diperluas dengan penambahan KKP Domestik di mana sebelumnya sudah tersedia KKP Konvensional. KKP Domestik merupakan kerjasama Bank Indonesia, Perbankan, dan Kementerian Keuangan sebagai upaya mendorong transaksi non-tunai (cashless) serta budaya non-tunai masyarakat.
Sejak tahun 2019 Pemerintah telah mengimplementasikan penggunaan KKP setelah Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah yang kemudian diubah PMK Nomor 97/PMK.05/2021.
Banyak hal positif yang didapatkan dengan penggunaan KKP dibandingkan dengan menggunakan cara konvensional/tunai yaitu mengurangi idle cash, lebih efisien karena tidak dipungut biaya kecuali bea materai Rp. 10.000,- , menyederhanakan transaksi belanja negara, transparansi, dan akuntabilitas keuangan negara.
Selain itu penggunaan KKP dapat membantu menekan inflasi dengan meminimalisasi beredarnya uang tunai di masyarakat karena sistemnya adalah transfer antar rekening. Salah satu cara menekan inflasi adalah dengan mengurangi beredarnya jumlah uang di pasar. Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan yang selama ini diambil pemerintah untuk mengurangi jumlah uang yang beredar adalah dengan menaikkan suku bunga bank, menaikkan pajak, dan menerbitkan surat berharga pemerintah.
Namun mengapa sampai saat ini penggunaan KKP oleh satuan kerja Kementerian/Lembaga masih rendah? Ada beberapa penyebab mengapa implementasi KKP seperti jalan terjal yang sulit dilalui, antara lain :
- Masih rendahnya Mindset Cashless
Budaya transaksi secara digital masih rendah di masyarakat terutama di kota kecil baik di Jawa maupun luar Jawa. Masyarakat masih cash oriented di mana mereka lebih memilih transaksi dengan menggunakan uang tunai dan hanya sedikit yang mau bertransaksi melalui digital payment. Akibatnya pihak penyedia barang di pasar lebih memilih transaksi menggunakan uang tunai karena penggunaan melalui digitalisasi belum begitu dibutuhkan. Akibatnya pihak merchant tidak antusias menyediakan fasilitas Electronic Data Capture (EDC) apalagi untuk menyediakan fasilitas tersebut terdapat persyaratan jumlah minimal transaksi setiap bulan yang harus dipenuhi.
- Kompetensi Sumber daya Manusia
Dari sisi sumber daya manusia tidak hanya dari pihak pengelola keuangan di satuan kerja yang kurang paham proses binis KKP, namun dari pihak perbankan pun sebagai pihak penerbit KKP terutama di daerah/ cabang masih belum familiar dengan KKP tersebut. Ini sebenarnya tugas dari Kantor Pusat Perbankan penerbit untuk melakukan internalisasi KKP kepada karyawan di daerah.
- Sistem Penerbitan Terpusat
Sistem terpusat membuat waktu proses penerbitan KKP menjadi lama, paling cepat 14 hari kerja, berbulan-bulan bahkan ada yang 1 sampai 2 tahun belum terbit, dimulai sejak ditandatanganinya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara satuan kerja dan perbankan dan permohonan penerbitan KKP.
Lamanya waktu penerbitan KKP membuat satuan kerja menjadi tidak antusias lagi menggunakan kartu kredit untuk pembayaran transaksi belanja.
- Penyalahgunaan untuk Kepentingan Pribadi
Penggunaan kartu tanpa pengawasan yang ketat rawan disalahgunakan oleh pihak yang tidak berhak misalnya untuk belanja keperluan pribadi seperti makan di rumah makan, belanja barang di mall, dan lain-lain. Dan jika yang melakukan penyalahgunaan adalah atasan timbul rasa tidak enak untuk menagih atas penggunaan pembayaran pribadi dan akibatnya akan ditutup dari kuitansi fiktif.
Itulah beberapa kendala yang menjadi jalan terjal dalam pelaksanaan penggunaan KKP sehingga pencapaiannya belum optimal. Di samping kendala tersebut sebenarnya masih banyak lagi kendala lainnya seperti akun KKP disatukan dengan akun pribadi di aplikasi bank penerbit dan ini membuat potensi penyalahgunaan baik disengaja ataupun tidak sengaja.
Penggunaan KKP memang memudahkan dan memiliki sifat fleksibilitas dalam belanja, bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, aman, dimudahkan terutama dalam perpajakan karena tidak perlu memungut pajak. Namun hal-hal positif tadi terkendala dengan permasalahan di lapangan yang membuktikan bahwa pada praktiknya penggunaan KKP tidak semulus teori di atas kertas.
Jadi bagaimana solusnya?
Agar penggunaan KKP bisa kembali ke jalan yang benar penulis menawarkan beberapa solusi:
- Memangkas prosedur penerbitan: selama ini keterlambatan penerbitan KKP diakibatkan karena rentang kendali yang jauh di mana untuk penerbitan dilakukan di kantor pusat perbankan, dengan memangkas prosedur penerbitan yang semula di pusat kemudian dialihkan ke daerah misal ke kantor wilayah atau kantor area akan memudahkan dalam memonitoring dan mempersingkat waktu penerbitan KKP.
- Edukasi dan literasi keuangan: pemerintah dan pihak perbankan perlu aktif memberikan edukasi baik kepada masyarakat tentang manfaat transaksi melalui digital baik melalui komunitas masyarakat, media sosial, dan sekolah. Dengan terbentuknya kesadaran tersebut maka nantinya pihak penyedia akan secara sukarela menyediakan fasilitas transaksi digital baik dengan EDC maupun QRIS, Kota Surakarta bisa menjadi contoh dalam membangun budaya cashless di masyarakat di mana pihak pemerintah kota dan perbankan bekerja sama dalam memberikan edukasi ke masyarakat sehingga para pedagang kecil di pasar menyediakan fasilitas QRIS. Dengan munculnya kesadaran tersebut pastinya akan meningkatkan transaksi pembayaran APBN dengan KKP.
- Pengawasan dan sanksi yang tegas: setiap penyimpangan penggunaan yang terdapat mens rea dari pelakuharus dikenakan sanksi yang tegas berupa sanksi pidana dan tidak semata sanksi administrasi. Dengan pengawasan dan system yang ketat dari pengelola keuangan dalam penggunaan KKP maka celah-celah pemanfaatan untuk kepentingan pribadi bisa dicegah.
Dengan Langkah-langkah tersebut diharapkan jalan terjal akan menjadi jalan yang mulus sehingga program pemerintah dalam mengurangi budaya tunai bisa tergantikan dengan budaya non-tunai sehingga terwujud tata Kelola pemerintahan yang baik (good governance), efisiensi ekonomi, meningkatkan transparansi, dan memperluas basis pajak untuk meningkatkan penerimaan negara. Penulis adalah Kepala Seksi PDMS KPPN Tolitoli