Oleh : Odjie Samroji / Mahasiswa Program Doktor Manajemen Universitas Negeri Surabaya
Siapa pun yang menengok kembali 28 Oktober 1928 akan mendapati bahwa Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa seremonial, melainkan rancangan kepemimpinan kolektif yang canggih untuk zamannya. Di sana, tiga unsur bekerja beriringan. Pertama, kemampuan membayangkan masa depan bersama—imajinasi strategis (imaginativeness)—yang menerobos sekat kedaerahan dan melahirkan horizon “Indonesia” sebagai rumah politik dan kultural. Kedua, ketegasan mengambil keputusan (decisiveness) yang mematri arah lewat ikrar “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa”. Ketiga, keterampilan merajut jejaring (sociability) yang menghadirkan konsensus lintas organisasi dan latar sosial. Ketiganya tidak berdiri sendiri; masing-masing saling mengunci sehingga gagasan menjadi arah, arah menjadi komitmen, dan komitmen menjelma gerakan.
Spirit itulah yang relevan bagi kepemimpinan hari ini. Imajinasi strategis dalam konteks modern bukan sekadar ide brilian, melainkan keberanian merumuskan horizon bersama yang sederhana, dapat dipahami, dan memandu prioritas—narasi yang membuat yang jauh terasa dekat dan yang abstrak menjadi konkret. Tanpa ini, organisasi mudah terperangkap dalam reaktivitas: mengejar tanda jadi, bukan tujuan. Namun imajinasi saja tidak cukup. Ia perlu ditemani ketegasan keputusan: kejelasan pilihan, ambang “cukup data” untuk memutus, tenggat yang dihormati, serta akuntabilitas tindak lanjut. Ketegasan bukan keras kepala; ia disiplin moral untuk tidak menggantungkan masa depan pada kebetulan. Di atas itu semua, ada jejaring: kemampuan menghimpun dukungan, membangun kepercayaan, dan membuka kanal partisipasi. Di ruang publik yang bising, legitimasi lahir dari dialog yang setara; keputusan menjadi milik bersama ketika warga merasa turut menyusunnya.
Sumpah Pemuda memberi teladan konkret tentang cara tiga unsur tersebut saling menguatkan. Imajinasi persatuan kala itu tidak berhenti sebagai slogan; ia diturunkan menjadi keputusan yang eksplisit dan mudah diingat, lalu dipelihara oleh jaringan organisasi kepemudaan, pers, dan pendidikan. Ada arsitektur sosial yang menopang gagasan: ruang pertemuan, percakapan lintas identitas, dan kedisiplinan kolektif. Inilah “mesin konteks” yang kerap luput dari perhatian: budaya kebersamaan dan kerja sama yang membuat ikrar bukan hanya kata-kata, melainkan kebiasaan yang dihidupi. Tanpa budaya yang selaras, imajinasi kehilangan pijakan, keputusan kehilangan daya dorong, dan jejaring kehilangan perekat.
Membumikan Spirit 1928 di Masa Kini



