Penulis: Sulviana / Dosen Jurusan Kehutanan Faperta UNISMUH Palu
28 September 2018 menjadi momen trauma massal bagi orang-orang Bumi Kaktus ini, terkecuali saya. Bagi saya, waktu tersebut mengingatkan bahwa sudah seminggu saya berada di tanah rantau, tanah juang. Rasa kehilangan yang selalu beriringan dengan kesyukuran, menjadi cerita orang-orang ketika saya tanya “di mana kamu pada saat itu?” kepada mereka yang pastinya selamat.
Selain karena kemurahan hati Sang Pemilik Raga, cerita lain muncul dari pusat titik gempa dan tsunami, Donggala. Di Kelurahan Kabonga Besar, Kabupaten Donggala, cerita yang sangat bersejarah dari terjadinya tsunami ini adalah barisan mangrove yang berhasil membuktikan untuk apa mereka hidup di bibir pantai. Tulisan dalam buku ”Mangrove Teluk Palu” yang terbit pada tahun 2022 memberitakan bahwa warga RW 02 yang di belakang rumahnya terdapat mangrove tak tersentuh tsunami padahal jaraknya hanya 5 meter dari pasang air laut.
Peristiwa dan saksi hidup ini jelas bukan ”bonus” kepada kita yang mendengar dan membaca, tetapi sebagai pengingat dan pelajaran bahwa tak mungkin ada kesia-siaan yang diciptakan. Pasca kejadian tersebut, barang tentu kita jangan ”hanya” menaruh perhatian terhadap bagaimana cara menjadi lebih siaga dan awas sebagai bentuk mitigasi bencana, tetapi dengan melakukan aksi nyata berupa penanaman. Tulisan Akbar dkk (2020) membicarakan hal yang sama, bahwa untuk memitigasi tsunami dapat dilakukan dengan pendekatan fisik berupa penanaman vegetasi yang cocok. Saya juga jadi teringat slogan yang dikatakan oleh salah satu founder Malaka, ”no talk, just action.”
Slogan ini telah lama diaminkan oleh Mangrovers atau Mangrove Rangers—salah satu komunitas yang membawa pulang mangrove pada Ibunya. Mangrovers mulai melakukan giat aksinya tahun 2019 di Pantai Dupa. Per 28 September 2025 jumlah penanaman sudah lebih dari 80.000 benih. Pantai Dupa dipilih menjadi lokasi rehabilitasi mangrove karena aksesnya mudah, adanya kesesuaian pada substrat, dan tingginya aktivitas masyarakat. Persentase hidup dari rehabilitasi yang dilakukan mencapai 89% berdasarkan hasil penelitian Ghanus (2024) dan kegiatan rehabilitasi dianggap berhasil dilakukan jika persentase hidup tanaman mencapai 80% (Sari dan Rosalina, 2014).
Jauh panggang dari api, keberhasilan kegiatan rehabilitasi ini tidak serta merta menjadikan Pantai Dupa memiliki status kawasan lindung ataupun konservasi. Artinya, dengan belum adanya status kawasan yang legal, membuat kawasan rehabilitasi ini tidak memiliki jaminan keberlanjutan di masa depan. Pada 25 Juli 2023, beberapa aktivis, pemerhati, dan pecinta lingkungan membuat petisi berisi desakan kepada Pemerintah Kota Palu untuk menetapkan Pantai Dupa sebagai kawasan konsevasi dan ekologi mangrove. Selain petisi, berbagai usaha juga telah dilakukan Mangrovers untuk memperoleh status kawasan bagi daerah rehabilitasi ini. Namun, sampai tulisan ini dibuat, status tersebut belum juga diperoleh. Kendala utama dalam proses pengajuan status kawasan ini adalah tumpang tindihnya aturan yang ada.
Misalnya, TribunPalu.com dalam beritanya Kamis, 13 Februari 2025 yang mewawancarai Sekretaris DLH (Dinas Lingkungan Hidup), Ibnu Mundzir, menyatakan bahwa Pemerintah Kota Palu merancang kawasan konservasi mangrove seluas 10 ha dalam rencana tata ruang, salah satunya kawasan yang direncanakan adalah Layana Indah, tempat giat anak-anak Mangrovers melakukan rehabilitasi. Berbeda dengan DLH, DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) menetapkan status Pantai Dupa sebagai kawasan tangkapan ikan. Perbedaan ini membuat sulit pengajuan status kawasan tersebut.
Akbar dkk (2020) dalam hasil penelitiannya jelas mengatakan bahwa upaya menjaga dan mewujudkan kelestarian lingkungan hidup sekaligus memitigasi risiko tsunami dilakukan melalui penataan ulang serta pengembangan kawasan lindung di Kota Palu. Perencanaan lanskap untuk mitigasi tsunami ini difokuskan pada kawasan lindung yang fungsinya telah menurun akibat aktivitas budidaya maupun bencana alam. Jelas, status kawasan tanpa tawar harus dilakukan.
Awalia dan Purwaningrum (2022) melakukan kajian tentang apakah program mangrove di Layana Indah layak dilakukan untuk mitigasi bencana tsunami dengan menggunakan metode pendekatan nilai ekonomi dari fungsi mangrove. Hasilnya menunjukkan bahwa, manfaatnya Rp. 1.5 dan biayanya yaitu Rp. 1. Artinya, program mangrove sebagai upaya mitigasi bencana tsunami di Pantai Dupa Layana Indah sangat layak untuk dilakukan karena manfaat yang diperoleh lebih banyak dari biaya yang dikeluarkan.
Langkah positif baru datang dari level nasional. Pada 7 Juli 2025 terbit PP No. 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (PPEM). Peraturan ini menegaskan perlindungan mangrove di dalam maupun di luar kawasan hutan serta mengatur fungsi lindung dan budidaya mangrove secara nasional. Artinya, mangrove yang sudah tumbuh baik di Pantai Dupa—yang kebanyakan berada di luar kawasan hutan—harus dilindungi sama seperti mangrove dalam kawasan hutan. PP ini juga mewajibkan restorasi mangrove apabila terjadi kerusakan. Meski begitu, perlu peraturan turunan di tingkat Provinsi dan Kota agar mekanisme pelaksanaan di lapangan bisa berjalan efektif. Dengan adanya PP Mangrove, setidaknya kekhawatiran selama ini tentang bagaimana mangrove yang sudah tumbuh sehat dan besar di Pantai Dupa itu, di masa akan datang, tidak perlu dilanjutkan karena sudah ada payung hukumnya.
Dari uraian di atas, jelas rehabilitasi yang dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli telah membuahkan hasil. Bahkan, spesies Rhizophora mucronatayang ditanam 2019 sudah melahirkan anak kandungnya. Lebih lanjut, kegiatan yang telah dilakukan oleh teman-teman Mangrovers maupun para kolaborator seharusnya menjadi bahan bakar kepada para pemerintah agar serius terhadap mitigasi yang mereka wacanakan sendiri. Bukan hanya lewat kolaborasi menanam, tetapi kepastian dalam status kawasan di Pantai Dupa itu. Areal rehabilitasi tersebut berhak mendapatkan status kawasan yang jelas. Nama baru untuk Pantai Dupa!