Penulis: Dr. Kamridah, M.Th.I / Ketua Jurusan aqidah dan Filsafat Islam  Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Datokarama Palu

Setiap 17 Agustus, kita kembali diingatkan pada momen bersejarah ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun, setelah 80 tahun berlalu, apakah makna kemerdekaan itu masih relevan dengan tantangan masa kini?

Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik. Di era digital ini, kita menghadapi bentuk-bentuk “penjajahan” baru yang lebih halus namun tidak kalah berbahaya. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang demokratis, kini sering kali menjadi ajang polarisasi dan disinformasi. Algoritma platform digital asing mengendalikan apa yang kita baca, pikirkan, bahkan yakini.

Ketergantungan kita pada teknologi impor juga mencerminkan belum tuntasnya kemerdekaan ekonomi. Dari smartphone hingga infrastruktur digital, sebagian besar masih bergantung pada produk dan layanan asing. Ironi ketika negara dengan populasi terbesar keempat dunia belum mampu mandiri secara teknologi.

Generasi muda Indonesia hari ini tumbuh dalam dunia yang sangat berbeda dari para pejuang kemerdekaan. Mereka lebih fasih dengan bahasa media sosial ketimbang sejarah perjuangan bangsa. TikTok dan Instagram lebih menarik daripada buku-buku sejarah.

Namun, justru di sinilah tantangannya. Bagaimana menjaga api nasionalisme tetap menyala di tengah arus globalisasi yang deras? Bagaimana memastikan nilai-nilai Pancasila tidak terkikis oleh budaya pop global yang mendominasi ruang digital?

Kemerdekaan sejati di era informasi adalah kemampuan berpikir kritis. Ketika hoaks dan disinformasi bertebaran, kemampuan memilah informasi yang benar menjadi bentuk kemerdekaan yang paling mendasar. Sayangnya, literasi digital kita masih rendah. Banyak yang mudah terprovokasi oleh berita palsu atau konten yang memecah belah.

Para founding fathers mewariskan Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi persatuan dalam keberagaman. Namun, media sosial justru sering mempertajam perbedaan dan menciptakan echo chamber yang memperkuat bias konfirmasi. Kita merdeka secara politik, tapi masih terjajah oleh algoritma yang mendorong polarisasi.