Oleh: Sigit Wibowo A.M., S.H / Praktisi
Ketika Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk meminta pemerintah daerah mengalokasikan APBD untuk pelindungan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI), Kamis (12/6/2025), publik seharusnya tak hanya mencatat seruannya. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: di mana letak batas kewenangan pusat dan daerah dalam struktur ketatanegaraan kita?
Dalam perspektif hukum tata negara, relasi antara pemerintah pusat dan daerah telah diatur secara tegas dalam UUD 1945 pasca amandemen, khususnya Pasal 18 dan turunannya. Otonomi daerah bukan sekadar “izin” dari pusat, tetapi merupakan mandat konstitusi untuk menciptakan pemerintahan yang dekat dengan rakyat, responsif, dan mandiri. Namun, dalam praktik, otonomi tersebut sering kali dilumpuhkan secara halus oleh beban kewajiban yang tak disertai pelimpahan kewenangan fiskal yang setara.
Pernyataan Wamendagri dalam rapat tersebut bukanlah hal baru. Ia mencerminkan pola relasi vertikal yang tidak sehat: pemerintah pusat menetapkan program nasional, tetapi daerah yang dituntut mengeksekusinya dengan sumber daya yang terbatas, kadang tanpa pedoman teknis yang jelas, dan ironisnya, tanpa instrumen hukum yang mendukung. Dalam kerangka hukum tata negara, ini dapat dibaca sebagai bentuk delegasi kewenangan tanpa tanggung jawab fiskal, yang melanggar prinsip dasar checks and balances antara pusat dan daerah.
Lebih dari sekadar soal pelindungan CPMI, pola ini dapat ditemukan pada banyak sektor, mulai dari penggajian Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), implementasi Koperasi Merah Putih di desa, hingga proyek strategis nasional yang penyelenggaraannya bergantung kontribusi pada kesiapan fiskal daerah.