SULTENG RAYA – Penerapan skema Fraud Control System (FCS) diyakini menjadi langkah kunci yang dapat dilakukan lembaga dan organisasi untuk mengantisipasi peluang terjadinya korupsi di kemudian hari.

Untuk itu, PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berkolaborasi menyelenggarakan sosialisasi penerapan skema FCS di lingkungan perusahaan.

FCS sendiri merupakan langkah preventif pengendalian kecurangan yang dirancang secara spesifik dan terintegrasi untuk mencegah, menangkal, mendeteksi, dan merespon kecurangan.

Direktur Kepatuhan dan Manajemen Risiko IFG Life, Eli Wijanti, mengatakan, pihaknya memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan tata kelola yang baik (good corporate governance/GCG) serta senantiasa mendukung upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan perusahaan.

Menurutnya, pencegahan korupsi dan pencegahan terjadinya tindakan-tindakan yang mengarah ke fraud merupakan tanggungjawab setiap individu di dalam organisasi.

“Oleh karena itu, sebagai upaya membangun kesadaran yang menyeluruh untuk seluruh pegawai, IFG Life melaksanakan sosialisasi serta persiapan pelaksanaan FCS yang berkolaborasi dengan BPKP,” ujar Eli saat membuka acara “Sosialisasi dan Persiapan Implementasi FCS di Lingkungan IFG Life,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Sulteng Raya, Kamis (15/2/2024).

Eli pun menegaskan, IFG Life sudah menerapkan langkah-langkah kongkrit untuk penerapan GCG seperti kode etik, pakta integritas, sosialisasi anti-fraud secara berkala, dan sederet penegakan aturan lainnya yang menunjukkan bahwa IFG Life berkomitmen dan proaktif untuk mengelola dan mengendalikan risiko kecurangan.

Selain itu, IFG Life juga telah menerapkan Sistem Manajemen Anti Penyuapan, strategi Anti Pencucian Uang – Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) dan telah membentuk Tim Pengelola Gratifikasi sebagai bentuk untuk mencegah risiko kecurangan.

“Sosialisasi FCS ini menjadi bagian awal dari tahapan pendampingan BPKP dalam mengimplementasikan sistem pengendalian kecurangan di IFG Life,” tuturnya.

Penerapan skema FCPS menjadi semakin penting di tengah melemahnya indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparency International.

Skor CPI Indonesia pada 2022 mencapai angka 34 atau menyusut 4 poin dari tahun 2021. Hal tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-110 dari 180 negara di dunia dalam hal persepsi korupsi.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Investigasi III BPKP, Gumbira Budi Purnama menjelaskan betapa pentingnya langkah pengelolaan fraud dalam mencegah terjadinya korupsi.

Gumbira memaparkan bahwa dari sebanyak 2.110 kasus di 133 negara di dunia pada 2022, fraud telah menyebabkan kerugian senilai 3,6 miliar US dollar. Jika dirata-ratakan, lanjutnya, setiap kasus fraud menyebabkan kerugian 1,7 juta US dollar.

“Tiap-tiap organisasi atau institusi dapat menderita hilangnya potensi pendapatan hingga 5% akibat fraud setiap tahunnya,” paparnya.

Beberapa kasus yang terungkap di dalam negeri pun menunjukkan tingginya risiko korupsi di Indonesia. “Apalagi kita lihat banyak perusahaan asuransi, yang mengalami masalah gagal bayar karena adanya fraud. Bahkan kasus-kasusnya sudah banyak yang ramai diberitakan di media massa,” ujarnya.

Modus dan faktor pendorongnya pun beragam, mulai dari penggunaan pengaruh dan tekanan dari politically exposed person, menyembunyikan korupsi di balik laporan keuangan (fraudulent financial statement), business judgment tidak dengan itikad baik dan mengandung konflik kepentingan, dan lainnya.

Dia menegaskan, dampak dari pelaksanaan pelatihan kesadaran fraud bagi manajer dan karyawan perusahaan meningkatkan kemungkinan deteksi dan pelaporan, sehingga fraud dapat dicegah lebih dini.

“Jangan sampai ada api, kebakaran, baru dipadamkan. Tapi bagaimana caranya supaya kebakaran tidak terjadi,” ujarnya.

Auditor Madya selaku Koordinator Pencegahan Korupsi III Deputi Bidang Investigasi BPKP, Suaedi, menambahkan ada tiga elemen penting penyebab korupsi, yakni motif, kesempatan, dan rasionalisasi.

“Kecenderungan fraud terjadi bila seluruh 3 elemen penting ada secara bersama-sama. Tiga elemen penting ini saling berhubungan dalam diri seseorang dalam melakukan fraud. Pimpinan perlu memahami fraud triangle dan mengapa karyawan melakukan berbagai fraud,” tuturnya.

Sebab apabila telah terjadi, korupsi dapat mengakibatkan kerugian yang besar, serta memerlukan proses litigasi yang menyita waktu dan biaya. Sementara itu, recovery atas uang negara yang dikorupsi sangat kecil. RHT