SULTENG RAYA – Menteri Agama (Menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas, meluncurkan logo peringatan Hari Santri 2023 dengan mengusung tema ‘Jihad Santri Jayakan Negeri’ di Auditorium HM Rasjidi, Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Jumat (6/10/2023).
Hadir pada kesempatan itu, Ketua Komisi VIII, Ashabul Kahfi, perwakilan ormas Islam, pengasuh dan santri pesantren, para pejabat Eselon I, II, dan III Kementerian Agama, serta para Staf Khusus dan Staf Ahli Menteri Agama.
“Pada peringatan tahun ini, kita usung semangat Jihad Santri Jayakan Negeri. Melalui tema ini, kami ajak para santri untuk terus berjuang membangun kejayaan negeri dengan semangat jihad intelektual di era transformasi digital,” kata Menag Yaqut.
Hari Santri diperingati setiap 22 Oktober sejak ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 2015. Penetapan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.
Hari Santri merujuk pada peristiwa resolusi jihad dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi itu berisi seruan kewajiban berjihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan pasukan penjajah, hingga memuncak pada perlawanan 10 November 1945, kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Menurut Menag, tema Jihad Santri Jayakan Negeri dapat dimaknai secara historis dan kontekstual. Secara historis, tema itu ingin mengingatkan para santri memiliki andil besar dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober itu mengacu pada Resolusi Jihad yang dimaklumatkan oleh Kiai Hasyim Asyari. Resolusi Jihad itu berisi seruan kepada seluruh masyarakat agar berjuang menolak dan melawan penjajah. Bahkan dikatakan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban setiap individu (fardlu ‘ain) bagi yang berjarak 94 km dari kedudukan musuh,” jelasnya.
Secara kontekstual, kata dia, tema ‘Jihad Santri Jayakan Negeri’ menegaskan, santri terus berkontribusi aktif dalam memajukan negeri.
“Makna jihad secara kontekstual tidak selalu identik dengan berperang angkat senjata. Jihad santri secara kontekstual adalah jihad intelektual, di mana para santri adalah para pejuang dalam melawan kebodohan dan ketertinggalan. Santri juga turut berjuang dan mengambil peran di era transformasi digital,” ujarnya.
Santri, kata dia, adalah teladan dalam menjalani jihad, dengan buku sebagai senjata dan pena sebagai tongkat kebijaksanaan, mereka memperdalam ilmu dan menyebarkan cahaya. Mereka juga ikut mengisi ruang-ruang digital untuk penguatan literasi keagamaan moderat berdasarkan prinsip Islam rahmatan lil alamin.
Ada juga, kata dia, jihad di bidang ekonomi. Para santri harus berdiri di depan untuk menyejahterakan masyarakat dan mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
“Termasuk juga jihad politik. Para santri harus menjadi teladan dalam momentum demokrasi, memilih pemimpin secara rasional dan terbaik,” pesannya. HGA