Pemerintah harus menyiapkan mekanisme peralihan yang adil dan terukur, menghormati putusan MK tanpa mengabaikan dedikasi individu. Salah satu opsi yang layak dipertimbangkan adalah menempatkan mereka kembali ke posisi relevan di lingkungan Polri, sesuai kompetensi dan pengalaman. Alternatif lain, bagi yang telah memenuhi syarat usia dan masa kerja, bisa diberi kesempatan untuk beralih menjadi ASN secara reguler melalui mekanisme yang terbuka dan konstitusional.

Lebih dari sekadar urusan jabatan, putusan MK ini seharusnya menjadi momentum untuk menata kembali batas profesionalisme dan independensi antar lembaga negara. Selama ini, kehadiran aparat kepolisian di jabatan sipil sering menimbulkan kerancuan antara fungsi keamanan dan fungsi pemerintahan. Birokrasi sipil semestinya tumbuh dalam kultur pelayanan publik, bukan dalam struktur komando. Sebaliknya, Polri harus kembali fokus pada tugas utamanya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan mengelola urusan administratif kementerian.

Penataan pasca-putusan MK dengan demikian bukan sekadar soal siapa ditempatkan di mana, melainkan tentang penegasan filosofi kekuasaan dalam sistem demokrasi kita. Ia menyangkut keseimbangan antara profesionalisme sipil dan supremasi hukum, antara loyalitas institusional dan tanggung jawab konstitusional.

Kini bola berada di tangan pemerintah. Kementerian PAN-RB, Kemendagri, dan Polri harus segera duduk bersama menyiapkan peta jalan yang jelas,  inventarisasi, evaluasi jabatan, serta mekanisme transisi yang transparan dan adil. Menunda berarti membiarkan ketidakpastian. Menunggu berarti melanggar konstitusi secara diam-diam.

Negara hukum bukanlah sekadar kumpulan pasal, melainkan komitmen moral untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu termasuk terhadap lembaga yang selama ini menjadi garda terdepan penegak hukum itu sendiri. Di titik inilah, integritas konstitusi diuji bukan lewat kata, melainkan melalui keberanian menegakkan hukum, bahkan saat hukum itu menyentuh tubuh kekuasaan sendiri.*