Tak hanya itu, surat undangan rapat bernomor 0001.5/8246/BAG Umum yang beredar di kalangan peserta, juga memuat sejumlah kejanggalan, di antaranya tanggal yang tercantum 19 November 2024 berbeda dengan jadwal pelaksanaan rapat pada 20 Oktober 2025. Undangan tersebut ditandatangani oleh Wakil Bupati Abdul Sahid dan mencantumkan 45 nama undangan, termasuk unsur organisasi perangkat daerah (OPD) dan individu tertentu, di antaranya seorang guru berstatus ASN aktif.
Usai rapat, Wakil Bupati Parigi Moutong, Abdul Sahid yang sudah ditunggu wartawan langsung menyampaikan klarifikasinya saat ditanya soal pelarangan peliputan, Ia menggeleng ringan.
“Saya tidak tahu tadi ini. Tidaklah, tidak,” katanya singkat, seolah ingin menepis riuh di luar ruangan.
Namun, di sisi lain, para wartawan yang diminta keluar masih menyimpan suara mereka sendiri. Abdul Humul Faiz, jurnalis Tribun Palu, mengingat jelas bagaimana instruksi itu disampaikan.
“Pak Wabup bilang, jangan ada wartawan di dalam. Disampaikan langsung di ruang rapat,” ujarnya.
Bambang Istanto dari media online Bawa Info dan Eli Leu dari Zenta Inovasi pun membenarkan hal serupa. Bagi mereka, momen kecil itu bukan sekadar soal akses, melainkan tentang makna transparansi tentang siapa yang berhak tahu dan siapa yang dikecualikan.
“Isu tambang ini menyangkut masyarakat luas. Kami datang bukan untuk mengganggu, tapi untuk memastikan publik tahu apa yang terjadi,” tutur Eli dengan nada kecewa.
Peristiwa itu tak berhenti di ruang rapat. Di hari yang sama, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu menyampaikan sikap resminya, nada keprihatinan yang tegas, namun tetap berimbang.
Mereka menilai tindakan pemerintah daerah yang meminta wartawan meninggalkan ruangan merupakan bentuk penghalangan kerja jurnalistik, sekaligus pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dalam pernyataannya, PFI Palu menegaskan bahwa rapat tersebut seharusnya menjadi ruang transparansi ruang di mana publik bisa mengetahui arah kebijakan daerah terkait aktivitas pertambangan yang berdampak luas.
“Kami menyesalkan dan mengecam tindakan yang membatasi kerja jurnalistik. Pemerintah seharusnya menjunjung tinggi prinsip keterbukaan dan hak publik atas informasi,” demikian pernyataan resmi organisasi tersebut. AJI