Forsyth (2006) memaknai kolektivisme sebagai tradisi, ideologi, atau orientasi pribadi yang menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Dalam kerangka ini, komunitas dilihat sebagai unit utama realitas sekaligus pemegang standar nilai tertinggi, sehingga identitas dan tindakan seseorang kerap diukur dari kontribusinya bagi kelompok. Hoftede (2005) menambahkan bahwa kolektivisme memiliki sifat bipolar dengan individualisme. Semakin tinggi kecenderungan seseorang atau suatu budaya pada individualisme, semakin rendah derajat kolektivismenya. Relasi tarik-menarik ini membentuk spektrum nilai sosial yang memengaruhi cara masyarakat mengambil keputusan, memprioritaskan tujuan, hingga mengelola relasi antaranggota.
Dalam konteks kekinian, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memerlukan kolektivitas sebagai daya pengikat yang mampu menyatukan energi organisasi. Ada sejumlah alasan yang membuat energi kolektif menjadi kebutuhan mendesak. Pertama, kolektivitas memungkinkan terjaganya keutuhan organisasi. Kesatuan yang terbangun dari semangat kebersamaan itu menjadi modal penting untuk menghimpun daya energi yang besar dalam menjalankan berbagai program dan kegiatan Ikatan. Sebaliknya, organisasi yang terjebak dalam riuh internal akan kehilangan produktivitas, sebab energinya habis terkuras oleh konflik yang berlarut dan tak terarah.
Kedua, melalui kolektivitas, tercipta kenyamanan dalam berorganisasi. Kenyamanan ini menjadi landasan bagi terlaksananya kegiatan organisasi dengan penuh kegembiraan. Para kader pun dapat berkontribusi dengan hati yang riang dan semangat yang menyenangkan (joyful). Sebaliknya, ketika kenyamanan itu sirna, organisasi akan terjebak dalam suasana yang diliputi kegelisahan, kebingungan, dan ketegangan, sehingga menggerus semangat kebersamaan yang menjadi ruh gerakan.
Ketiga, melalui kolektivitas, kemajuan organisasi dapat ditempuh secara produktif. Sebaliknya, keterbelahan di tubuh Ikatan akan membuat kader kehilangan fokus untuk bergerak maju. Suasana organisasi pun terancam terperangkap dalam kegelapan perpecahan, terjebak dalam kubangan pertikaian, serta tersandera dendam yang hanya akan menguras energi dan melelahkan semua pihak.
Bagaimana persatuan itu diwujudkan? Kuncinya terletak pada upaya menghilangkan kebencian, sikap destruktif, serta kepentingan pribadi yang berlebihan. Seluruh elemen di dalam Ikatan sepatutnya meneladani rumpun bambu: dapat bergesekan, namun tetap tegak dan padu.
Keragaman pikiran dan sikap adalah hal yang lumrah. Namun, perbedaan itu tidak boleh menjadi sumber kerusakan, melainkan harus dikelola secara produktif. Kader yang berada dalam struktur kepemimpinan tidak seharusnya menghindar dari konflik atau lari dari persoalan. Sebaliknya, mereka dituntut untuk mengelola perbedaan dan memikul tanggung jawab dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi organisasi.
Membangun Negeri