Pengenaan tarif impor oleh Amerika Serikat di bawah masa kepemimpinan kedua Presiden Donald Trump pada tahun 2025 diperkirakan akan memicu gelombang proteksionisme baru yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global. Kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada negara-negara mitra dagang utama AS, tetapi juga menciptakan efek lanjutan yang dirasakan secara luas, termasuk oleh negara berkembang seperti Indonesia. Ketegangan dagang internasional, gangguan rantai pasok, dan penurunan permintaan global merupakan rangkaian konsekuensi yang dapat menekan pertumbuhan ekonomi, memperlemah nilai tukar, dan memperbesar ketidakpastian pasar.

Bagi Indonesia, dampak dari kebijakan ini sangat terasa dalam konteks fiskal, khususnya terhadap APBN. Melemahnya ekspor menyebabkan penurunan penerimaan negara, sementara fluktuasi nilai tukar dan tekanan inflasi mendorong peningkatan belanja, terutama subsidi dan pembayaran utang. Situasi ini dapat memperlebar defisit anggaran dan membatasi ruang gerak fiskal pemerintah dalam merespons krisis global. Oleh karena itu, diperlukan strategi mitigasi yang mencakup penguatan basis penerimaan domestik, efisiensi belanja negara, dan pengelolaan risiko fiskal yang adaptif.

Dalam menghadapi ketidakpastian global yang terus berkembang, Indonesia perlu memperkuat kapasitas ekonomi domestik dan memperluas kemitraan strategis di kawasan lain sebagai langkah diversifikasi. Dengan demikian, APBN dapat tetap berfungsi optimal sebagai alat stabilisasi ekonomi, meskipun dihadapkan pada tantangan global akibat kebijakan proteksionisme negara adidaya. (Penulis merupakan ASN pada Kementerian Keuangan).

Disclaimer : Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi