Meskipun Indonesia bukan target langsung kebijakan tarif impor Amerika Serikat, dampak tidak langsungnya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat signifikan. Salah satu saluran utama adalah melalui penurunan ekspor. Ketika permintaan global melemah akibat perlambatan ekonomi negara-negara mitra dagang utama, seperti Tiongkok dan negara-negara Eropa, maka volume ekspor Indonesia cenderung menurun. Hal ini berdampak langsung terhadap penerimaan negara dari sektor perpajakan, termasuk Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perdagangan luar negeri.

Selain itu, kebijakan tarif impor AS dapat memicu depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akibat berkurangnya arus modal masuk dan meningkatnya ketidakpastian global. Depresiasi rupiah dapat meningkatkan beban pembayaran utang luar negeri pemerintah, terutama yang berdenominasi dolar, yang pada akhirnya menambah tekanan terhadap belanja negara. Di sisi lain, pemerintah juga menghadapi tekanan untuk meningkatkan subsidi, khususnya energi dan pangan, guna menjaga daya beli masyarakat di tengah inflasi global yang tinggi. Kombinasi dari penurunan penerimaan dan peningkatan belanja tersebut dapat memperlebar defisit APBN dan meningkatkan kebutuhan pembiayaan.

Dampak lanjutan juga dapat terlihat dalam penurunan realisasi investasi dan terganggunya proyek-proyek strategis nasional yang dibiayai sebagian dari pendapatan negara. Ketika investor global menahan ekspansinya karena ketidakpastian geopolitik dan proteksionisme perdagangan, Indonesia berpotensi kehilangan momentum pertumbuhan jangka menengah. Dalam konteks ini, APBN harus bekerja lebih keras sebagai instrumen counter-cyclical untuk menopang aktivitas ekonomi, namun ruang fiskal yang sempit menjadi tantangan besar.

Oleh karena itu, ketergantungan Indonesia terhadap dinamika ekonomi global menuntut kebijakan fiskal yang adaptif dan kemampuan untuk merespons guncangan eksternal. Pemerintah perlu memperkuat basis penerimaan domestik, mendorong diversifikasi ekspor, dan menjaga kredibilitas fiskal sebagai langkah antisipatif terhadap dampak kebijakan proteksionisme negara besar seperti Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump.

Kesimpulan