Kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat di bawah Presiden Trump berpotensi memicu ketegangan dagang yang meluas, terutama dengan mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Uni Eropa. Pada masa jabatan pertamanya, penerapan tarif terhadap baja dan aluminium serta barang-barang Tiongkok senilai ratusan miliar dolar telah memicu aksi balasan, menciptakan kondisi perang dagang yang menekan arus perdagangan global. Jika kebijakan serupa diberlakukan kembali pada tahun 2025, dampaknya bisa lebih luas karena ekonomi global saat ini sedang menuju pemulihan pasca pandemi dan mengalami tekanan inflasi yang tinggi.

Pengenaan tarif secara sepihak oleh AS dapat mengganggu rantai pasok global, memperlambat perdagangan internasional, dan memicu volatilitas pasar finansial. Selain itu, negara-negara berkembang yang bergantung pada ekspor komoditas dan produk manufaktur, seperti Indonesia, terancam kehilangan pasar dan menghadapi penurunan harga ekspor. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh konflik dagang juga berdampak pada kepercayaan pasar, mengurangi investasi asing langsung, dan memperlambat pembentukan modal global.

Siklus dampak ini menciptakan efek domino, di mana perlambatan pertumbuhan ekonomi global akan berimbas pada permintaan agregat yang lebih rendah, fluktuasi nilai tukar, dan tekanan terhadap stabilitas fiskal berbagai negara. Dalam skenario tersebut, negara-negara berkembang akan menghadapi tantangan ganda yaitu menjaga pertumbuhan ekonomi domestik sekaligus mempertahankan ketahanan fiskal dan moneter. Dengan demikian, pengenaan tarif impor oleh AS tidak hanya menjadi isu bilateral, tetapi persoalan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan global yang lebih luas.

Dampaknya terhadap APBN Indonesia