“Sudah ada kajian. Bentuknya berupa DRT (dokumen rincian teknis). Ini sebagai syarat untuk memanfaatkan limbah non-B3 terdaftar. Karena ada standar teknis dan kajian untuk mengolah limbah non-B3 terdaftar. Meski sudah bisa dimanfaatkan, tapi harus terlapor, mulai dari timbulan yang dihasilkan dan dimanfaatkan,” jelas Burhanudin saat ditemui, Rabu (14/5/2025).
Sejak 2021, pemerintah telah mengeluarkan 9 (sembilan) jenis limbah B3 ke dalam daftar limbah non-B3 terdaftar. Antara lain slag besi atau baja, slag nikel, mill scale, debu EAF, PS ball, fly ash, bottom ash, spent bleaching earth, pasir foundry (sand foundry). Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengolahan slag nikel sebagai limbah non-B3 terdaftar, juga tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 19 tahun 2021 mengatur tentang tata cara pengelolaan limbah nonbahan berbahaya dan beracun (non-B3) yang terdaftar.
Saat ini IMIP berupaya untuk mendorong agar pemanfaatan slag nikel yang telah dilakukan di kawasan, dapat digunakan juga oleh masyarakat secara umum, utamanya di Morowali, Sulawesi Tengah. Misalnya saja, untuk pembangunan beragam infrastruktur yang ada di desa-desa di Kecamatan Bahodopi.
“Kita membuka diri untuk bekerjasama mendukung pembangunan infrastruktur di daerah dengan memanfaatkan slag nikel tersebut yang dapat di ajukan melalui instansi pemerintah, seperti Kementerian PUPR yang dilakukan di Papua, atau instansi teknis lainnya yang ada di daerah atau pada level pemerintah desa,” jelas Direktur CSR/Environmental PT IMIP, Dermawati S, dalam sebuah sesi wawancara pada April 2025 lalu. *WAN