Oleh : Ummu Dzaky (Pemerhati Ekonomi Masyarakat)

Saat ini rakyat dibuat bingung dengan adanya perbedaan angka kemiskinan versi Bank Dunia dan RI. Pasalnya, Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook awal April 2025 mencatat bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan global. Sebaliknya, BPS menyebut tingkat kemiskinan nasional per September 2024 hanya sebesar 8,57 persen, atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Perbedaan Standar

Bank Dunia memiliki 3 pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara. Bank Dunia menggunakan: international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem (USD 2,15 per kapita per hari), USD 6,5 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income), dan USD 6,85 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income). Berdasarkan perhitungan standar standar negara berpendapatan menengah atas inilah, maka diperoleh angka 60,3 persen atau sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan global.

BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan. BPS menggunakan ambang sekitar Rp20 ribu per hari sebagai standar pengukurannya.

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti merespon perbedaan standar pengukuran degan menyatakan bahwa perbedaan tersebut bukanlah bentuk kontradiksi, melainkan disebabkan karena perbedaan metodologi dan tujuan penghitungan yang digunakan masing-masing pihak. Ia juga mengatakan, garis kemiskinan dunia yang ditetapkan Bank Dunia tidak seharusnya langsung diterapkan oleh masing-masing negara. Sebabnya, tiap negara memiliki nilai garis kemiskinan sendiri. Untuk itu wajar jika garis kemiskinan milik Bank Dunia juga berbeda dengan garis kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah RI.

Apapun dalih pemerintah, sekecil apapun angka kemiskinan, hal ini tidak dapat diabaikan. Terlebih melihat rilis BPS yang mencatat jumlah pengangguran di Indonesia meningkat 1,11 persen secara tahunan pada Februari 2025. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sebanyak 146,5 juta orang telah melakukan pinjaman melalui aplikasi pinjaman daring (pinjol) per Januari 2025. Jumlah tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 20% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya padahal efek pinjol berdampak pada meningkatnya masalah kesehatan mental hingga tidak jarang memicu tindakan bunuh diri.