Komunikasi pembangunan juga sering gagal karena tidak peka terhadap konteks lokal. Pesan-pesan pembangunan dikemas dengan jargon teknokratis dan bahasa formal yang tidak dipahami oleh masyarakat akar rumput. Contoh nyata terlihat dalam program food estate dan alih fungsi lahan, di mana masyarakat lokal tidak diajak berdiskusi dan hanya menerima sosialisasi sepihak.

Dalam konteks ini, Paulo Freire (1970) dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa komunikasi harus membebaskan, bukan menindas. Artinya, komunikasi pembangunan perlu menggunakan bahasa rakyat, memahami kearifan lokal, dan mengakui eksistensi budaya komunitas.

3. Dominasi Media Formal dan Lemahnya Media Komunitas

Komunikasi pembangunan juga gagal karena lebih mengandalkan media massa arus utama daripada media komunitas yang berakar pada kehidupan masyarakat. Pesan pembangunan yang disampaikan melalui TV atau media sosial tidak menjamin keterhubungan emosional dan kultural dengan publik sasaran.

Menurut UNESCO (2014), media komunitas memiliki peran penting dalam memperkuat demokratisasi komunikasi pembangunan karena mampu menjangkau kelompok marjinal. Sayangnya, di Indonesia, dukungan terhadap media komunitas masih sangat minim dari sisi kebijakan maupun infrastruktur.

4. Kurangnya Evaluasi dan Umpan Balik

Pembangunan sering dikebut tanpa mekanisme evaluasi komunikasi yang berkelanjutan, sehingga ketika program tidak berjalan efektif, akar masalahnya tidak diketahui. Ini menunjukkan lemahnya sistem umpan balik (feedback) dalam komunikasi pembangunan. Dalam komunikasi yang sehat, respons dari masyarakat seharusnya menjadi indikator keberhasilan pesan yang disampaikan.

Rekomendasi Strategis