Misalnya, ada menteri yang memutuskan untuk menghapus penjurusan, tetapi kemudian kebijakan itu dibalik dan jurusan tersebut dihidupkan kembali. Begitu pula dengan kebijakan ujian nasional (UN), yang sebelumnya dihapus oleh satu menteri, kemudian diaktifkan lagi oleh menteri lainnya.

“Gontaganti kurikulum, gontaganti kebijakan mengakibatkan kemunduran dalam dunia pendidikan kita, karena kita buta dan tidak memiliki peta jalan pendidikan jangka panjang yang disepakati bersama,”sebutnya.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menetapkan penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA mulai tahun ajaran 2024/2025.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek saat itu, Anindito Aditomo, menjelaskan kebijakan ini merupakan bagian dari pelaksanaan Kurikulum Merdeka yang telah diterapkan secara bertahap sejak 2021.

Pada 2022, Kurikulum Merdeka diterapkan oleh sekitar 50 persen sekolah, dan pada 2024, angka ini meningkat hingga 90-95 persen di tingkat SD, SMP, serta SMA/SMK.

Anindito menilai bahwa pembelajaran yang lebih terarah dan mendalam sulit dicapai bila siswa masih terbagi ke dalam jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Ia juga mencatat bahwa saat sistem penjurusan diterapkan, mayoritas siswa cenderung memilih jurusan IPA. ENG