SULTENG RAYA – Emiten bersandi saham BRIS, yakni PT Bank Syariah Indonesia Tbk., (BSI) diproyeksikan memiliki prospek cerah karena terdorong empat faktor utama.
Empat faktor tersebut, yakni tingkat penetrasi syariah semakin kuat, ruang pertumbuhan yang besar, permintaan produk syariah yang terus meningkat dan peluang besar di segmen wholesale banking.
Hal itu diungkapkan analis pasar modal sektor perbankan dari Mandiri Sekuritas Kresna Hutabarat dan asisten periset, Boby Kristanto Chandra.
Dalam hasil risetnya yang dipublikasikan belum lama ini, kedua analis menjelaskan bahwa faktor pertama yaitu tingkat penetrasi perbankan syariah Indonesia yang ditargetkan mencapai 15 persen dalam 5-10 tahun oleh pemerintah.
“Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 22 September, aset perbankan syariah tumbuh lebih dari 16 persen secara tahunan menjadi Rp750 triliun. Angka tersebut baru sekitar 7 persen dari pangsa pasar di mana BSI sendiri memegang sekitar 60 persen pangsa pasar atau aset perbankan syariah tersebut,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Sulteng Raya, Kamis (9/3/2023).
Kresna dan Boby menekankan bahwa hal tersebut menunjukkan pentingnya BSI sebagai salah satu katalis terkuat dan mesin pertumbuhan untuk aset perbankan syariah di Indonesia. Hal itu pun menggambarkan bahwa pertumbuhan aset perbankan syariah akan di atas perbankan konvensional seiring dengan meningkatnya penerimaan keuangan syariah di Indonesia.
Faktor kedua, adalah masih terdapat ruang pertumbuhan yang besar bagi BSI mengingat indeks literasi keuangan syariah pada 2022 baru sebesar 9,1 persen. Sedangkan secara total di tingkat nasional indeks literasi keuangan sudah sebesar 49,7 persen.
Indeks literasi keuangan syariah tentunya akan terus meningkat sejalan dengan animo masyarakat yang terus tumbuh terhadap industry keuangan syariah. Perbankan syariah juga berpotensi untuk mendorong pertumbuhan berbagai sektor seperti konsumen dan pembangunan sektor riil.
Faktor ketiga adalah permintaan produk syariah yang sangat besar baik di segmen retail banking maupun wholesale banking. Mengacu pada data pemerintah, bahwa sekitar 44% umat Islam di Indonesia lebih memilih produk syariah dibandingkan dengan produk konvensional.
“Oleh karena itu, inovasi dan perbaikan baik model bisnis maupun proses bisnis diperlukan untuk memberikan daya tarik tertinggi. Juga memperkuat service level kepada nasabah dan calon nasabah agar bank syariah dapat memperoleh lebih banyak nasabah dan karenanya memperbesar pangsa pasar,” paparnya.
Faktor terakhir dan yang tak kalah penting adalah bank syariah yang memiliki peluang besar di segmen wholesale banking. Hal ini tak terlepas dari kenyataan bahwa Kementerian BUMN menghadapi banyak tantangan pembiayaan proyek infrastruktur dengan metode konvensional.
Bahkan, menurut Kresna dan Boby, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo yang akrab disapa Tiko pernah menyebutkan perbankan syariah memiliki model pembiayaannya yang lebih cocok untuk pembangunan infrastruktur jangka panjang. Seperti di sektor pertambangan dan penggalian, jalan tol, pembangkit listrik, properti, kereta api, dan lain-lain. Hal itu dibandingkan dengan metode dasar konvensional yaitu model amortisasi jangka pendek.
“Sebabnya sistem perbankan syariah memungkinkan mencocokkan skema pembayaran dan jatuh tempo dengan kondisi riil aset. Oleh karena itu, hal tersebut memberikan lebih banyak peluang pertumbuhan bagi lembaga keuangan syariah untuk tumbuh di Indonesia,” imbuhnya.
Di sisi lain mengutip data terbaru dari perseroan prospek kinerja yang positif pada 2023 pun sudah terlihat di awal tahun. Aset perseroan pada Januari 2023 meningkat 11,42 persen dibandingkan dengan posisi pada Januari 2022, menjadi Rp299,7 triliun dari Rp268,97 triliun.
Untuk pembiayaan posisi pada Januari 2023 mencapai Rp206,46 triliun. Jumlah itu naik sekitar 22,44 persen secara tahunan dari Rp168,63 triliun pada Januari 2022. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) juga naik 9,27 persen dari Rp235,52 triliun pada Januari 2022 menjadi Rp257,35 triliun pada Januari 2023.
Porsi dana murah (CASA) juga terus bertumbuh dengan penaikan sekitar 3,43 persen dari 56,97 persen pada Januari 2022 menjadi 60,4 persen pada Januari 2023. Kunci pertumbuhan tersebut adalah tabungan Wadiah yang bertumbuh 20,25 persen pada periode yang sama dari Rp 35,55 triliun menjadi 42,75 triliun. Sedangkan laba unaudited pada Januari 2021 mencapaiRp443,64 miliar, naik 38,50 persen dibandingkan Januari 2022 sebesar Rp320,3 miliar.
Untuk ROE pada Januari 2022 mencapai 16,36 persen sedangkan Januari tahun ini 16,82 persen. Untuk CIR dari 52,49 persen menjadi 49 persen yang menandakan kinerja yang semakin efisien. Untuk NPF gross posisi pada Januari 2022 ada pada level 2,98 persen dan mampu ditekan menjadi 2,43 persen pada Januari 2023.
Adapun untuk kinerja saham, kedua periset merekomendasikan Beli saham BRIS. Sebagai gambaran, harga saham BRIS sempat meroket dengan penaikan 23,57 persen pada pekan kedua Februari 2023. Bahkan harganya pada Kamis (16/2/2023) ditutup di level Rp1.625 per saham. Sedangkan pada penutupan pasar Selasa (7/3/2023) saham BRIS ditutup di level 1.595.
Melonjaknya saham BRIS awal Februari 2023 itu terpicu oleh kabar masuknya investor asing sebagai pemegang saham perseroan. Wamen Tiko sebelumnya mengatakan berencana untuk mengocok ulang posisi pemegang saham di BRIS. RHT