Oleh :Kasman Jaya Saad
Kota Palu merupakan pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan pendidikan di Sulawesi Tengah. Pertumbuhan ini menciptakan dinamika baru dalam kehidupan masyarakat, meningkatkan mobilitas penduduk, intensitas kegiatan ekonomi, serta pola konsumsi yang semakin kompleks. Dalam konteks perkembangan tersebut, salah satu tantangan utama yang muncul adalah meningkatnya timbulan sampah harian. Pada tahun 2024, data DLH Kota Palu menyebutkan bahwa timbulan sampah mencapai 526,97 meter kubik per hari.
Peningkatan ini berjalan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan pola konsumsi warga kota yang semakin beragam. Angka ini mencerminkan tekanan signifikan terhadap sistem pengelolaan sampah dan kualitas lingkungan kota secara keseluruhan. Di balik angka tersebut juga tersimpan tantangan multidimensi, bukan hanya teknis-operasional, tetapi juga sosial-kultural.
Komposisi sampah Kota Palu memperlihatkan bahwa sebagian besar sampah bersifat organik, baik pada rumah tangga (70,96%) maupun pada sektor nonrumah tangga (43%). Komposisi ini menunjukkan bahwa kota Palu sesungguhnya memiliki peluang besar untuk mengurangi sampah sejak dari sumbernya melalui pembentukan TPS3R atau pengomposan dan pemanfaatan kembali bahan organik. Namun, peluang ini hanya dapat terwujud apabila terdapat kemauan warga untuk berubah dan berperilaku baik dalam pengelolaan sampah.
Dalam kajian perilaku (behavioral studies), perubahan tindakan tidak semata-mata dipengaruhi oleh pengetahuan atau informasi, tetapi oleh faktor internal berupa motif, preferensi, dan hasrat. Warga kota Palu secara umum memahami bahwa membuang sampah sembarangan adalah tindakan yang kurang benar. Namun, pemahaman tersebut tidak otomatis bertransformasi menjadi perilaku yang konsisten. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara kesadaran dan hasrat untuk berperilaku bersih.
Pendekatan akademik mengenai perubahan perilaku menyatakan bahwa edukasi efektif tidak cukup berhenti pada penyampaian informasi. Perlu ada upaya sistematis untuk mendidik hasrat kolektif (collective desire) agar warga kota memiliki kecenderungan internal untuk menjaga ruang hidupnya. Hasrat ini terbentuk melalui proses keteladanan sosial, lingkungan fisik yang terjaga dan insentif moral yang mendorong perilaku positif.